Aktivis 98 Desak Kembalinya Demokrasi Pancasila, Tolak Politik Liberal dan Kapital

oplus_2

LENTERAMERAH – Dua puluh tujuh tahun setelah reformasi bergulir, sekelompok aktivis 1998 kembali menyerukan evaluasi arah demokrasi Indonesia.

Melalui forum bertajuk “Demokrasi Pancasila Sebagai Panggilan Kesejarahan Aktivis ’98”, mereka mendesak agar sistem politik nasional dikembalikan pada semangat Demokrasi Pancasila, bukan liberalisme yang mereka nilai semakin menjauhkan rakyat dari cita-cita keadilan sosial.

Diskusi dan pembacaan pernyataan sikap itu digelar di Gedung Percetakan Negara, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa (29/10/2025), diinisiasi oleh Forum Bersama Bhinneka Tunggal Ika.

Sejumlah tokoh reformasi hadir, antara lain Mudhofir (Ketua Solidaritas Buruh Nasional), Taufan Hunneman (Sekjen Forum Bersama Bhinneka Tunggal Ika), Anton Aritonang (Ketua Gerakan Nasional ’98), Yoga (Alumni KM Universitas Jayabaya), dan Ridwan (Ketua Umum Gema Puan).

Kritik terhadap Demokrasi Liberal yang Menyimpang dari Amanat Reformasi

Dalam pernyataannya, para aktivis menilai praktik demokrasi saat ini telah terlalu didominasi oleh kekuatan modal dan kepentingan elite politik.

Demokrasi yang semestinya menjadi ruang partisipasi rakyat justru berubah menjadi kompetisi mahal yang menguntungkan segelintir pihak.

“Gejala politik liberal telah mengikis semangat gotong royong dan musyawarah, yang dulu menjadi ciri khas bangsa. Demokrasi kini hanya berpihak pada mereka yang berduit,” ujar Taufan Hunneman.

Mereka mengingatkan, konstitusi UUD 1945 dirancang sebagai hasil musyawarah berbagai golongan masyarakat dari intelektual, budayawan, hingga rohaniawan untuk menjamin sistem pemerintahan yang berlandaskan keadilan sosial dan kedaulatan rakyat.

Tiga Tuntutan Utama: Kembali ke Akar Demokrasi Pancasila

Forum tersebut menghasilkan tiga tuntutan utama sebagai refleksi moral dan politik dari generasi reformasi terhadap kondisi bangsa hari ini:

1. Mengembalikan Pancasila sebagai dasar utama sistem demokrasi Indonesia. Elit politik diminta menegakkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman, bukan hanya simbol dalam retorika.

2. Mendorong pembentukan Komisi Konstitusi. Komisi ini diharapkan beranggotakan pakar hukum, perwakilan daerah, serta tokoh masyarakat untuk mengevaluasi sistem politik yang dinilai menimbulkan korupsi sistematis dan mengikis moral bernegara.

3. Mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Langkah ini dianggap penting untuk menjaga arah pembangunan nasional agar tetap berlandaskan konstitusi dan konsisten menghadapi dinamika global.

“Tuntutan ini bukan sekadar wacana politik, tapi panggilan kesejarahan kami sebagai Aktivis ’98 untuk menjaga arah perjuangan bangsa,” kata Anton Aritonang, Ketua Gerakan Nasional ’98.

Gerakan Moral Menjaga Jatidiri Bangsa

Forum Bersama Bhinneka Tunggal Ika menegaskan bahwa gerakan ini bukanlah bentuk politik praktis, melainkan gerakan moral untuk mengembalikan arah demokrasi kepada jati diri bangsa berpijak pada nilai Pancasila, gotong royong, dan keadilan sosial.

“Sebagai saksi sejarah reformasi, kami terpanggil untuk memperjuangkan demokrasi yang sesuai kepribadian bangsa, bukan sistem liberal yang menindas rakyat kecil,” ujar Mudhofir, Ketua Solidaritas Buruh Nasional.

Acara ditutup dengan pembacaan komitmen bersama dari seluruh perwakilan organisasi peserta, sebagai simbol tekad menjaga api reformasi tetap menyala dalam bingkai Demokrasi Pancasila sejati.***