LENTERAMERAH — Di tengah banjirnya konten digital untuk anak-anak, muncul fenomena baru yang disebut sebagai konten anomali AI—video pendek absurd yang dinilai dapat memicu brain rot pada anak-anak Gen Alpha.
Berbeda dari kartun biasa, konten ini tidak memiliki alur, logika, atau tujuan edukatif. Pakar menyebut bahwa kemampuan orang tua dalam mengenali perbedaannya menjadi kunci perlindungan terhadap dampak buruk jangka panjang.
Tiga Ciri Konten Brain Rot
Direktur Digital Campaign for Social Change dari Yayasan DiRI, Ella Devianti Effendi, menjelaskan bahwa konten anomali AI memiliki tiga elemen utama yang membedakannya dari kartun biasa.
“Pertama, kontennya absurd atau menyalahi logika umum. Kedua, musiknya monoton dan repetitif. Ketiga, durasinya pendek dan tidak mengandung narasi,” kata Ella dalam seminar daring e-Talks, Selasa (10/6/2025).
Ia menambahkan bahwa algoritma media sosial dirancang untuk mendorong keterlibatan jangka pendek, sehingga konten seperti ini akan lebih sering muncul di beranda anak, tanpa kontrol atau konteks.
Paparan dari Lingkungan Bermain
Salah satu pertanyaan yang muncul dari peserta webinar adalah bagaimana anak bisa terpapar konten ini, padahal orang tua sudah membatasi akses gadget. Banyak anak ternyata mengenal konten tersebut dari lingkungan bermain—teman sebaya yang menunjukkan video lewat ponsel.
Menanggapi hal ini, Upi Fitriyanti, Fasilitator dari Relawan Keluarga Kita (Rangkul) Lampung, mengatakan bahwa teknologi selalu bersifat dua sisi.
“Yang terpenting bukan hanya membatasi, tapi mengarahkan anak dalam memanfaatkan teknologi secara positif,” ujarnya.
Upi juga menekankan pentingnya membangun komunikasi dua arah dengan anak. Dalam proses ini, orang tua perlu menyadari emosi anak di setiap tahap perkembangannya.
“Celah anak untuk diajak bicara itu muncul saat emosinya tersentuh. Maka penting bagi orang tua membangun empati dalam komunikasi, bukan hanya marah tanpa arah,” tambahnya.
Peran PP TUNAS dan Tanggung Jawab Sistemik
Selain edukasi kepada orang tua, peran negara dalam mengatur ekosistem digital juga menjadi sorotan dalam seminar ini. Ella Devianti menyambut baik hadirnya Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS), yang digagas oleh Kementerian Komunikasi dan Digital.
“Aturan ini mewajibkan platform digital untuk memenuhi standar perlindungan anak. Termasuk larangan menggunakan data anak untuk kepentingan iklan,” kata Ella.
Ketiga narasumber sepakat bahwa tantangan konten anomali AI tidak bisa dihadapi hanya dengan niat baik orang tua. Dibutuhkan regulasi sistemik, literasi digital menyeluruh, serta komitmen pemerintah dan platform digital untuk menciptakan ruang online yang lebih aman bagi generasi mendatang. ***