AS Kelola Data Pribadi Indonesia, Data Masyarakat Dalam Bahaya

AS kelola data pribadi warga Indonesia. BIsa digunakan oleh AS dan Israel sesuai kepentingan kedua negara. Hizbullah dan HAMAS jadi contoh bagaimana data mereka digunakan AS.
AS kelola data pribadi Indonesia lewat sistem transfer digital lintas negara.
Ilustrasi aktivitas digital pengguna saat data pribadi dipindahkan secara daring. Kesepakatan transfer data dari Indonesia ke AS memicu kekhawatiran soal perlindungan dan kedaulatan data warga.

LENTERAMERAH – Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan poin-poin kerja sama dagang terbaru dengan Indonesia. Salah satu yang mencuri perhatian adalah komitmen AS kelola data pribadi dari Indonesia, sebagaimana diungkap Gedung Putih dalam pernyataan resmi yang dirilis Selasa (22/7).

“Indonesia akan memberikan kepastian mengenai kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” tulis Gedung Putih dalam dokumen tersebut.

Langkah ini langsung menuai kritik dari kelompok masyarakat sipil. Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menilai bahwa pemerintah Indonesia belum memiliki kerangka hukum dan kelembagaan yang memadai untuk menyepakati kerja sama internasional semacam ini.

“Pentingnya badan PDP yang independen harus segera dibentuk sesuai mandat UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, yang independen dan punya kewenangan kuat,” tegas Nenden kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/7).

Lembaga Perlindungan Data Tak Kunjung Terbentuk

Meski Undang-undang Perlindungan Data Pribadi telah berlaku sejak Oktober 2024, hingga kini pemerintah belum membentuk lembaga pengawas independen yang diamanatkan undang-undang tersebut. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, sebelumnya menyebut bahwa pembentukan lembaga PDP masih dalam tahap kajian, namun belum ada tindak lanjut konkret.

Di sisi lain, Kementerian Komunikasi dan Digital juga belum mengeluarkan pernyataan resmi soal kerja sama transfer data ini.

Data Pribadi Bukan Komoditas Dagang

SAFEnet memperingatkan bahwa tanpa evaluasi menyeluruh dan keterlibatan publik, kesepakatan ini bisa membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan AS untuk mengakses data pribadi warga Indonesia tanpa pengawasan yang memadai.

“Tanpa adanya evaluasi independen, transparansi, serta keterlibatan publik, kesepakatan ini berisiko menjadikan data pribadi sebagai komoditas dagang alih-alih hak asasi yang harus dilindungi,” ujar Nenden.

Ia menambahkan, pemerintah seharusnya menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang dasar hukum serta jaminan perlindungan hak atas data pribadi sebelum menandatangani kesepakatan apa pun dengan pihak asing.

“Kesepakatan internasional seperti ini tidak boleh dibuat sebelum ada kesiapan regulasi dan jaminan perlindungan hukum yang konkret. Bukan justru membuat kesepakatan terlebih dahulu, lalu menyusul regulasinya belakangan. Itu membahayakan hak-hak digital seluruh warga negara,” pungkasnya.