LENTERAMERAH – Target penambahan jumlah calon emiten pada tahun ini terancam tidak tercapai, hingga awal September, tercatat baru 22 perusahaan resmi IPO. Jumlah ini masih jauh dari target Bursa Efek Indonesia (BEI) sebanyak 66 perusahaan.
Sejumlah pihak menduga target calon emiten meleset karena proses penilaian bursa sering tidak selaras dengan realitas industri yang dijalankan perusahaan.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi XI DPR, M. Fathi mengatakan praktek di berbagai negara dapat menjadi rujukan, seperti melibatkan pihak eksternal independen dalam due diligence IPO, “hal ini dapat memperkuat objektivitas, transparansi dan kredibilitas pasar modal,” ujarnya pada media.
Untuk menghindari penilaian yang subyektif dan celah dalam tata kelola bursa, Fathi mendorong adanya standarisasi kompetensi dan sertifikasi profesi bagi tim penilai, sehingga keputusan listing lebih objektif dan terukur.
Ia melihat perlunya pengawasan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI memperkuat akuntabilitas dan transparansi dalam setiap keputusan penerimaan calon emiten, “bahkan saya mendorong perlunya mekanisme audit independen secara periodik untuk menilai integritas proses penilaian.” Karena menurutnya, penilaian yang subjektif bisa menimbulkan risiko moral hazard dan mengurangi kepercayaan publik terhadap mekanisme pencatatan emiten.
Penurunan jumlah calon emiten yang IPO terjadi selama dua tahun berturut-turut, pada 2024 dari target 62 calon emiten, hanya 41 entitas yang berhasil melangsungkan pencatatan saham perdananya. Hal ini mengundang keprihatinan banyak pihak. Tak heran jika DPR pun akhirnya turun tangan.
Terkait hal tersebut Fathi meminta penguatan peran OJK dalam mengatur standar due diligence agar sejalan dengan praktik internasional. Hal ini perlu dilakukan guna melindungi para investor di pasar saham dengan memastikan bahwa informasi prospektus benar-benar diverifikasi oleh pihak yang independen.
“Bukan hanya oleh internal bursa efek. Dengan perbaikan tata kelola ini, kita bisa mengurangi potensi konflik kepentingan sekaligus meningkatkan daya tarik pasar modal di mata investor domestik maupun global.” Dengan langkah ini, tata kelola pasar modal akan lebih kredibel dan sejalan dengan prinsip good governance.
Beberapa waktu lalu, dalam acara Rise Forum 2025, Budi Frensidy, praktisi pasar modal dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menilai perusahaan menengah membutuhkan dukungan dari investor institusi. Pasalnya, meskipun secara mayoritas pasar modal Indonesia didominasi oleh ritel, investor besar tetap berperan dalam menentukan arah pasar.
Pemerintah saat ini tengah getol menggenjot usaha menengah untuk IPO, pada Juli lalu Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyebut terdapat potensi dari sekitar 59 entitas usaha menengah untuk melantai dan saat ini tengah dalam proses screening.
Pengamat pasar modal Dipo Satria Ramli menilai aturan yang berlaku di BEI masih cenderung mengacu pada standar papan utama yang diperuntukkan bagi emiten berkapitalisasi besar. Padahal, menurutnya, kondisi tersebut tidak sesuai dengan karakteristik perusahaan menengah yang justru membutuhkan regulasi lebih fleksibel agar bisa melantai di bursa. *