LENTERAMERAH — Fenomena singularitas teknologi yang selama ini dianggap sebagai konsep masa depan, kini disebut telah menjadi kenyataan. Dalam unggahan di platform X, influencer teknologi Mario Nawfal menegaskan bahwa dunia sedang hidup di dalam era tersebut. “The Singularity isn’t coming, it’s here,” tulis Nawfal, menyebut bahwa perkembangan kecerdasan buatan telah melampaui batas kendali manusia.
Menurut Nawfal, singularitas teknologi bukanlah peristiwa yang akan datang tiba-tiba, melainkan proses yang tengah berlangsung secara perlahan namun tak terhentikan. Peter H. Diamandis, MD dalam postingannya menulis, “dari perspektif kita, semuanya tampak seperti proses yang halus dan berkesinambungan. The Singularity is Now!” katanya.
Ia menjelaskan bahwa kecerdasan buatan kini mampu menulis, berbicara, menggambar, membuat kode, hingga menyusun strategi dengan kecepatan belajar yang melampaui kemampuan manusia untuk membuat regulasi.
“AI tidak lagi sekadar menjawab pertanyaan. Ia mengajukan eksperimen, mengoptimalkan rantai pasok, membentuk penemuan ilmiah, bahkan merancang generasi berikutnya dari dirinya sendiri,” ujar Nawfal, menggambarkan kedalaman perubahan akibat singularitas teknologi yang kini menyentuh hampir seluruh bidang kehidupan.
Dalam unggahannya, Nawfal juga mengutip pandangan Elon Musk yang sebelumnya menegaskan bahwa perkembangan kecerdasan buatan saat ini telah mencapai titik di mana manusia “tidak lagi sepenuhnya mengendalikannya.” Musk selama ini dikenal sebagai salah satu tokoh paling vokal dalam memperingatkan risiko eksistensial dari AI yang berkembang tanpa pengawasan ketat.
Nawfal menyoroti bahwa revolusi ini tidak datang dengan tanda-tanda mencolok seperti dalam film fiksi ilmiah, melainkan melalui aplikasi praktis seperti smart assistant, workflow tools, dan platform seperti Grok serta ChatGPT, yang perlahan menggantikan banyak fungsi manusia di dunia kerja.
“Dunia tidak berakhir. Dunia hanya bergeser. Kita tidak bangun di bawah Skynet; kita bangun di hadapan Google Docs yang menulis kalimat lebih baik dari kita sendiri,” tulisnya.
Ia menilai pengembangan kecerdasan buatan kini telah berubah dari riset akademik menjadi perlombaan senjata teknologi. “Raksasa teknologi mengucurkan miliaran dolar untuk membangun model yang bahkan belum sepenuhnya kita pahami,” tulis Nawfal, seraya menyoroti lambannya regulasi global dalam menghadapi percepatan singularitas teknologi yang terus terjadi setiap minggu.
Unggahan Nawfal itu disertai gambar dua tangan robotik yang menggendong jaringan saraf bercahaya—simbol perpaduan manusia dan mesin di tengah aliran data digital. Visual itu menggambarkan inti dari singularitas teknologi: integrasi tanpa batas antara kemampuan manusia dan kecerdasan buatan.
Postingan tersebut menuai ribuan komentar. Beberapa pengguna menilai ironis bahwa teks reflektif itu sendiri mungkin disusun oleh AI, memperkuat pesan Nawfal tentang bagaimana manusia telah mulai menyerahkan otoritas kreativitas dan penilaian kepada mesin.
Bagi Nawfal, ancaman terbesar bukan pada kemungkinan AI “bangkit sadar,” melainkan pada risiko manusia yang “tertidur berjalan” melewati era singularitas teknologi tanpa menyadari bahwa mereka telah menyerahkan kendali atas penilaian dan tanggung jawab kepada sistem yang kini terlalu kompleks untuk dipahami sepenuhnya.
“Kita dulu mengira Singularitas akan datang sebagai ledakan kecerdasan,” tulisnya. “Sebaliknya, ia hadir sedikit demi sedikit — seribu langkah kecil yang tampak aman, tapi kini kita tak sadar sudah sejauh apa kendali itu berpindah tangan.” ***