Kala Algoritma Jadi Senjata, Propaganda Digital Israel di Amerika

Laporan Haaretz mengungkap propaganda digital Israel di Amerika yang melibatkan AI, influencer, dan kampanye keagamaan bernilai jutaan dolar. Proyek ini menargetkan generasi muda dan komunitas gereja untuk mempertahankan dukungan publik terhadap Israel, di tengah lemahnya pengawasan hukum di AS.
Israel jalankan propaganda digital di Amerika lewat AI dan influencer untuk membentuk opini publik di kalangan muda dan gereja evangelikal.
Israel jalankan propaganda digital di Amerika lewat AI dan influencer untuk membentuk opini publik di kalangan muda dan gereja evangelikal.

LENTERAMERAH — Pemerintah Israel kini menghadapi babak baru dalam komunikasi politik global lewat apa yang disebut sebagai propaganda digital Israel di Amerika

Laporan investigatif Haaretz mengungkap, operasi bernilai miliaran dolar itu dirancang untuk memengaruhi opini publik Amerika Serikat melalui kecerdasan buatan, influencer media sosial, serta pesan keagamaan yang disesuaikan secara geografis.

Tujuannya sederhana, namun strategis: memenangkan kembali simpati publik Amerika yang kian menurun — terutama di kalangan muda dan komunitas digital yang kini menjadi ruang pertempuran utama narasi politik.

Program tersebut bahkan diklaim sebagai “proyek geofencing terbesar dalam sejarah AS.” Targetnya: jutaan umat gereja evangelikal yang menjadi basis dukungan tradisional Israel di Amerika.

Perusahaan konsultan politik Chad Schnitger & Associates disebut menerima kontrak senilai tiga juta dolar untuk memobilisasi komunitas gereja dan kelompok Evangelikal muda agar tetap pro-Israel. Strategi ini memadukan teknik pemasaran digital dengan retorika keagamaan, menjadikan iman sebagai medium propaganda yang paling efektif di ruang daring Amerika.

Selain fokus pada jaringan gereja, propaganda digital Israel di Amerika juga menembus generasi muda lewat kolaborasi dengan perusahaan seperti Bridge Partners dan Havas Media. 

Dalam proyek yang dikenal dengan nama The Esther Project, para influencer dibayar antara 6.100 hingga 7.300 dolar per unggahan, menargetkan pengguna TikTok dan Instagram berusia 18–25 tahun.

Tak berhenti di situ, Israel juga menggandeng firma komunikasi politik SKDKnickerbocker untuk mengoperasikan jaringan bot otomatis yang memperbanyak serta memperkuat pesan pro-Israel di berbagai platform media sosial.

Di sisi lain, laporan tersebut juga menyebut keterlibatan kelompok pro-Israel yang berafiliasi dengan lingkaran Donald Trump, yang telah menggelontorkan jutaan dolar untuk membiayai proyek-proyek propaganda daring.

Ironisnya, media dan tokoh konservatif seperti Tucker Carlson dan Nick Fuentes kerap menjadi sasaran kritik dari analis Israel, yang menuduh mereka “foreign-funded” karena pandangan kritis terhadap Israel. Situasi ini menciptakan benturan narasi di dalam politik kanan Amerika, memperlihatkan bagaimana isu Israel kini menembus batas ideologi domestik AS.

Sementara itu, dukungan terhadap pengawasan asing di AS semakin melemah. Anggota Kongres Marjorie Taylor Greene sempat menuntut agar influencer penerima dana asing tunduk pada undang-undang FARA (Foreign Agents Registration Act). 

Namun kebijakan itu kehilangan daya taring sejak Jaksa Agung Pam Bondi membubarkan Foreign Influence Task Force — lembaga yang seharusnya mengawasi aktivitas propaganda lintas negara. 

Akibatnya, propaganda digital Israel di Amerika kini bergerak nyaris tanpa pengawasan hukum, menandai babak baru dalam perang pengaruh global yang memanfaatkan teknologi dan algoritma. ***