LENTERAMERAH – Pemerintah Amerika Serikat kembali menjadi pusat perhatian setelah Presiden Donald Trump bertemu Presiden Republik Demokratik Kongo (DRC) Félix Tshisekedi dan Presiden Rwanda Paul Kagame pada 4 Desember 2025. Pertemuan itu menghasilkan paket kerja sama ekonomi dan keamanan yang diklaim dapat mendukung stabilitas wilayah. Namun, fokus terhadap tambang kobalt Kongo justru mendominasi diskusi publik.
Dalam konferensi pers, Trump mengatakan, “We are going to get a lot of minerals from this deal.” Ia menyebut kesepakatan tersebut akan membuka peluang masuknya perusahaan-perusahaan besar AS ke kawasan mineral strategis Afrika Tengah. Kritik langsung bermunculan karena pernyataan itu dianggap menunjukkan prioritas ekonomi yang mengabaikan krisis kemanusiaan di wilayah tambang.
Kalimat lain yang memicu kontroversi adalah: “The same country, now led by Donald Trump, is back with a clandestine peace package. Only this time, all masks are off.” Pernyataan tersebut menggambarkan pandangan bahwa diplomasi terbaru AS lebih terbuka dalam mengejar kepentingan mineral.
Kobalt, Komoditas Global dengan Dampak Lokal yang Berat
Kongo menyumbang lebih dari 70 persen pasokan kobalt dunia—komponen utama baterai kendaraan listrik, ponsel pintar, dan perangkat energi terbarukan. Nilai strategis ini membuat wilayah penambangan seperti Kolwezi dan Shabara menjadi pusat konflik, ketegangan politik, dan persaingan geopolitik.
Di sisi lapangan, eksploitasi terhadap pekerja tambang masih menjadi persoalan besar. UNICEF memperkirakan sekitar 40.000 anak terlibat dalam pekerjaan berisiko di lubang-lubang tambang artisanal. Banyak pekerja hanya menerima upah US$1–2 per hari, tanpa perlindungan keselamatan. Paparan debu kobalt menyebabkan gangguan pernapasan kronis, sementara pit collapse kerap menimbulkan korban jiwa.
Kelompok hak asasi manusia menyebut bahwa paket damai yang diumumkan AS tidak menyinggung perbaikan kondisi para pekerja, padahal merekalah pihak yang paling terdampak oleh perubahan kebijakan mineral.
Dampak Infrastruktur Baru Diwarnai Kekhawatiran Warga
Selain isu ketenagakerjaan, proyek-proyek infrastruktur besar seperti Lobito Corridor—yang didukung AS dan Uni Eropa—menjadi topik hangat. Menurut laporan Global Witness pada 2025, rencana ekspansi jalur tersebut berpotensi menggusur lebih dari 6.500 warga di wilayah Kolwezi.
Para aktivis menilai pemerintah DRC perlu menjamin kompensasi yang layak jika proyek berlanjut. “Investasi asing tak boleh mengulang pola lama: mineral keluar, rakyat tetap miskin,” ujar seorang advokat lokal yang terlibat dalam pendampingan warga.
Kedamaian Tidak Boleh Dikaitkan dengan Eksploitasi
Di media sosial Afrika, reaksi publik terhadap pernyataan Trump cenderung skeptis. Banyak yang menilai bahwa paket damai sulit dipercaya jika tidak diikuti reformasi tata kelola di wilayah tambang. Masyarakat mengingat bahwa konflik M23 dan kelompok bersenjata lain sebagian besar berakar pada perebutan akses ke lokasi tambang.
Dengan kepentingan global yang semakin besar terhadap kobalt, tekanan terhadap pemerintah DRC dan Rwanda untuk memastikan keberlanjutan ekonomi yang adil diperkirakan akan meningkat dalam beberapa bulan ke depan. ***



