.
MEDAN – Perpanjangan status tanggap darurat banjir dan longsor di sejumlah wilayah di Sumatera kembali memunculkan desakan agar pemerintah pusat menetapkan Status Bencana Nasional. Status ini dinilai dapat mempercepat alokasi anggaran dan memperluas intervensi pemerintah pusat dalam penanganan bencana.
Namun, seruan tersebut juga memantik kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan anggaran di tengah situasi darurat.
Irman Gusman Kembali Ajukan Desakan, Rekam Jejaknya Dipertanyakan
Anggota DPD RI asal Sumatera Barat, Irman Gusman, menjadi salah satu pihak yang mendesak pemerintah menetapkan status bencana nasional. Setelah upayanya mengajak Gubernur Sumbar tidak memperoleh dukungan, Irman kini mendorong langkah serupa melalui jalur kelembagaan di DPD.
Posisi Irman kembali menjadi sorotan karena ia merupakan mantan terpidana korupsi dalam kasus impor gula. Rekam jejak itu membuat sebagian pihak menganggap desakan tersebut perlu diawasi lebih cermat agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.
Pelajaran dari Pandemi Covid-19: Status Darurat Rentan Disalahgunakan
Pengalaman selama pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa pemberlakuan status darurat membuka celah penyimpangan anggaran, baik dalam pengadaan barang maupun penyaluran bantuan sosial.
Beberapa kasus besar yang terjadi pada periode tersebut, antara lain:
- Korupsi bantuan sosial di Kementerian Sosial, yang berujung vonis 12 tahun penjara kepada menteri saat itu.
- Kasus pengadaan APD dengan vonis 3–11 tahun bagi sejumlah terdakwa.
Rangkaian kasus tersebut menjadi catatan bahwa mekanisme darurat bisa dimanfaatkan melalui mark up pengadaan, permainan kontrak, dan manipulasi data penerima bantuan.
Sikap DPD: Penanganan Lapangan Lebih Mendesak daripada Penetapan Status
Ketua DPD RI, Sultan Baktiar Najamudin, menyatakan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah kecepatan penanganan bencana di lapangan. Sultan menilai penetapan status bencana nasional bukan menjadi kebutuhan mendesak.
Menurutnya, Indonesia masih memiliki kapasitas untuk menangani bencana tanpa membuka akses bantuan asing. Ia menambahkan bahwa proses administratif untuk menetapkan status justru dapat memperlambat langkah-langkah operasional yang dibutuhkan di daerah terdampak.
ICW: 20 Kasus Korupsi Bencana Sepanjang 2024
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sedikitnya 20 kasus korupsi anggaran bencana pada 2024, dengan total kerugian negara mencapai Rp 14,2 miliar.
ICW mengidentifikasi tiga titik rawan utama dalam pengelolaan anggaran bencana:
- Mark up harga bantuan dan logistik
- Gratifikasi dan permainan kontrak
- Data penerima bantuan yang direkayasa
Peneliti ICW, Erma Nuzulia Syifa, menjelaskan bahwa praktik tersebut terjadi pada berbagai program, mulai dari rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, pengadaan alat meteorologi, hingga relokasi mandiri warga terdampak.
Peringatan Presiden Prabowo Soal Pengelolaan Anggaran
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan peringatan agar jajaran pemerintah tidak memanfaatkan situasi bencana untuk melakukan penyimpangan anggaran. Ia menekankan perlunya tata kelola yang transparan dan akuntabel dalam seluruh proses penanganan bencana.
Penutup
Desakan penetapan status Bencana Nasional untuk wilayah Sumatera perlu dilihat secara menyeluruh. Selain kebutuhan percepatan anggaran, pemerintah juga harus memastikan pengawasan berjalan ketat untuk mencegah terulangnya praktik korupsi dalam situasi darurat.
Temuan ICW dan pengalaman pada masa pandemi menjadi pengingat bahwa kebijakan darurat memerlukan kontrol yang lebih kuat agar tidak merugikan masyarakat yang sedang terdampak bencana.***




