LENTERAMERAH – Kasus pembuangan limbah beracun Trafigura di Pantai Gading pada 2006 kerap digunakan dalam analisis ekonomi politik sebagai contoh ekstrem bagaimana logika pasar global bekerja ketika biaya dapat dialihkan kepada pihak yang paling tidak memiliki daya tawar.
Trafigura, sebuah perusahaan perdagangan komoditas global yang berbasis di Singapura dan menjadi salah satu pemain besar di sektor minyak, menghadapi pilihan sederhana namun menentukan. Limbah minyak beracun yang dihasilkan dari proses bisnisnya dapat dibuang secara aman di Eropa dengan biaya sekitar 620.000 dolar AS. Alternatif lainnya adalah membuang limbah tersebut di Afrika Barat dengan biaya sekitar 17.000 dolar AS.
Pilihan kedua diambil.
Limbah tersebut kemudian dibuang secara ilegal di sekitar Abidjan, Pantai Gading, sebuah negara yang tidak memiliki fasilitas maupun infrastruktur untuk menangani bahan beracun semacam itu. Truk-truk bergerak pada malam hari, membuang lumpur beracun di lebih dari 18 lokasi berbeda, termasuk di dekat permukiman warga, kebun, jalan umum, dan sumber air.
Dampaknya segera terasa. Lebih dari 100.000 orang mencari perawatan medis akibat keluhan seperti sakit kepala, muntah, gangguan pernapasan, mimisan, luka bakar pada kulit, dan kepanikan massal. Setidaknya 15 kematian tercatat secara resmi, sementara dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan lingkungan tidak pernah terungkap sepenuhnya karena komposisi limbah tersebut tidak pernah diumumkan secara transparan.
Latar belakang teknis kasus ini berakar pada praktik yang dikenal sebagai pencucian kaustik. Pada 2006, Trafigura membeli produk minyak murah bernama coker naphtha dengan kadar sulfur sangat tinggi. Untuk membuatnya dapat dijual di Afrika Barat, perusahaan menggunakan proses pencucian kaustik di atas kapal Probo Koala. Proses ini tidak dianggap standar dan ilegal di banyak fasilitas penyulingan, tetapi menjanjikan keuntungan besar.
Pencucian kaustik menghasilkan limbah samping yang disebut spent caustic, zat yang sangat beracun dan mahal untuk diolah karena memerlukan fasilitas pembuangan khusus. Trafigura mengetahui keterbatasan tersebut sejak awal, namun tidak pernah merencanakan pembuangan yang aman. Sebaliknya, perusahaan menghabiskan waktu berbulan-bulan mencoba mengalihkan tanggung jawab.
Upaya pembuangan dilakukan di berbagai tempat, mulai dari Malta, Italia, Gibraltar, hingga Nigeria. Seluruh kontraktor menolak setelah mengetahui sifat limbah tersebut. Di Belanda, limbah itu sempat dideklarasikan sebagai tidak terlalu berbahaya, sampai perusahaan pembuangan menyadari risiko sebenarnya dan menetapkan harga sesuai standar. Biaya itu ditolak oleh Trafigura.
Sebuah surel internal perusahaan pada Maret 2006 menggambarkan logika di balik keputusan tersebut: “Saya tidak tahu bagaimana kita membuang limbah ini dan saya tidak mengatakan kita akan membuangnya, tetapi pasti ada cara untuk membayar seseorang agar mengambilnya.”
Pada akhirnya, sebuah perusahaan lokal di Pantai Gading setuju menerima limbah itu dengan biaya sekitar tiga persen dari harga pembuangan yang seharusnya. Dalam kerangka pasar global, transaksi tersebut tercatat sebagai pertukaran sukarela yang sah antara dua entitas bisnis.
Dalam ilmu ekonomi, situasi semacam ini kerap disebut sebagai eksternalitas atau kegagalan pasar. Namun dalam pembacaan ekonomi politik yang lebih kritis, pengalihan biaya semacam ini bukanlah anomali, melainkan fitur utama dari sistem kapitalisme global. Perusahaan diberi insentif untuk meminimalkan biaya, sementara penderitaan manusia dan kerusakan lingkungan yang tidak memiliki harga pasar secara efektif diberi nilai nol.
Warga Abidjan yang terbangun dengan limbah beracun di sekitar rumah dan sumber air mereka tidak pernah menyetujui transaksi tersebut. Mereka tidak memiliki informasi, tidak memiliki pilihan, dan tidak memiliki mekanisme hukum yang setara untuk menolak. Ketimpangan institusional, lemahnya penegakan hukum, dan ketiadaan infrastruktur berubah menjadi peluang ekonomi.
Dalam logika ekonomi neoklasik, keputusan Trafigura sepenuhnya rasional. Perusahaan dihadapkan pada dua angka biaya dan memilih yang paling rendah. Teori mikroekonomi standar justru memprediksi perilaku semacam itu. Nilai nyawa dan kesehatan warga Pantai Gading tidak masuk ke dalam fungsi biaya perusahaan.
Kasus ini sering dikutip untuk menunjukkan bagaimana sistem pasar global mampu bekerja secara “efisien” dengan mengalokasikan risiko dan penderitaan kepada mereka yang paling tidak mampu menolaknya, sementara akumulasi modal tetap dijaga sebagai tujuan utama. ***



