LENTERAMERAH – Dalam wawancara eksklusif dengan saluran televisi Timur Tengah, Tom Barrack, Utusan Khusus AS untuk Suriah dan Lebanon, menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak menginginkan eskalasi konflik yang lebih luas di Timur Tengah pasca 7 Oktober. Menurutnya, prioritas Washington saat ini adalah mencegah meluasnya perang melintasi perbatasan Lebanon dan Suriah.
“Amerika tidak menginginkan konfrontasi langsung antara Hizbullah dan Israel, karena itu akan berdampak besar bagi stabilitas regional,” kata Barrack.
Serangan Israel Kontradiktif dengan Narasi Damai
Namun, di lapangan, narasi ini tampak bertolak belakang dengan realitas. Sejak serangan 7 Oktober, Israel intensif melakukan pemboman di Lebanon selatan dan wilayah Suriah, dengan dalih menghancurkan jaringan Hizbullah dan milisi pro-Iran lainnya. Serangan ini terjadi hampir setiap hari, menimbulkan korban sipil dan kehancuran infrastruktur.
“Israel ingin memukul mundur Hizbullah dari perbatasan, tapi yang terjadi justru mendorong mereka semakin aktif. Ini seperti menyiram bensin ke api,” ujar Barrack.
Diplomasi AS tak Efektif Redam Israel?
Ketika ditanya soal efektivitas pendekatan diplomatik AS terhadap Israel, Barrack menekankan bahwa pemerintah AS terus melakukan tekanan agar Tel Aviv menahan diri. Namun, ia mengakui bahwa ruang kontrol Washington terhadap keputusan militer Israel sangat terbatas.
“Kami melakukan diplomasi sangat intens. Tapi perlu dipahami, Israel punya kebijakan pertahanan sendiri. Kami berusaha, tapi tak selalu bisa menahan mereka,” ungkapnya.
Suriah Masih Jadi Titik Nyala
Lebih jauh, Barrack juga menyoroti Suriah sebagai salah satu wilayah paling rentan terhadap lonjakan eskalasi baru. Ia menyebut serangan Israel ke bandara dan instalasi militer Suriah bukan hanya mengganggu misi kemanusiaan, tapi juga menciptakan ketegangan baru dengan Iran dan Rusia.
“Saya sudah berkali-kali mengingatkan bahwa eskalasi di Suriah bisa membuka front baru yang tak bisa kita kontrol,” ujarnya. ***