Indonesia di Era Teknofeodalisme, yang Tersisa untuk Kelas Pekerja

Gelombang PHK bukan lagi sekadar gejala ekonomi. Inilah adalah tanda zaman: teknofeodalisme mulai menyingkirkan manusia dari pusat produksi. Kelas pekerja Indonesia kini berhadapan dengan mesin.
Kelas pekerja Indonesia menghadapi era teknofeodalisme dan ancaman otomatisasi industri berbasis AI.
Kelas pekerja Indonesia menghadapi ancaman teknofeodalisme — babak baru kapitalisme yang dikendalikan mesin dan algoritma.

Penulis: Fauzan Luthsa, analis Indonesia Democracy Bridge Research Institut (Ind-Bri)

LENTERAMERAH – Gelombang PHK tidak putus-putusnya mengguncang industri manufaktur Indonesia. Dalam enam bulan terakhir, lebih dari 415 ribu pekerja kehilangan mata pencaharian, menurut Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) berdasarkan data Sakernas BPS. 

Dari jumlah itu, sekitar 255 ribu orang berasal dari sektor tekstil dan produk tekstil—sektor yang paling keras terkena hantaman krisis.

Fenomena ini merupakan gejala awal pergeseran besar dalam struktur ekonomi di mana kelas pekerja Indonesia mulai tersingkir dari dari struktur tersebut. Inilah situasi menuju fase teknofeodalisme, sistem baru ketika mesin dan algoritma mengambil alih peran manusia dalam menciptakan nilai ekonomi.

Mulai dari PT Sanken menutup pabriknya pada Juni 2025, Yamaha Music (Desember 2025) juga memilih hengkang dan raksasa tekstil Sritex yang akhirnya tumbang setelah mengumumkan PHK massal terhadap lebih dari 10 ribu karyawannya pada 26 Februari lalu.

Catatan KSPN bersama Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) menunjukkan bahwa sejak 2022 setidaknya ada 60 pabrik bernasib serupa. Lintasan ini menandai periode suram bagi dunia manufaktur dalam negeri.

Upah yang rendah, yang selama ini dianggap “keunggulan kompetitif” di Asia Tenggara, ternyata tidak lagi memberi jaminan aman. Buruh di Indonesia maupun ASEAN kini menghadapi kenyataan getir: murahnya tenaga manusia pun tak lagi bisa bersaing dengan mesin.

Banyak yang tidak menyadari bahwa inilah pertanda tengah terjadinya pergeseran besar dan mendasar, dependensi antara modal dan buruh tengah mengalami perubahan fundamental. 

Perubahan Dependensi Modal dan Buruh

Di saat perusahaan global semakin mengandalkan mesin, algoritma dan data untuk menggantikan manusia, sistem kapitalisme tengah bergerak ke fase baru—fase di mana buruh bukan lagi pusat produksi, melainkan sekadar penonton di pinggir arena.

Dalam salah satu artikelnya, Direktur Eksekutif Indonesia Democracy Bridge Research Institut (Ind-Bri) Bernard Haloho menyitir ucapan mantan CEO Stability AI Emad Mostaque yang menyentuh inti persoalan dunia saat ini, jika modal tak lagi membutuhkan pekerja untuk menghasilkan nilai, maka kelas pekerja kehilangan upah untuk bertahan hidup.

Fenomena dunia saat ini kembali membuka perdebatan klasik terkait antar kelas, antara kapitalisme dan buruh. Kedua kelas ini tergusur oleh sesuatu yang baru, sebuah perubahan yang baru pertama kali terjadi dalam peradaban manusia selama ini. 

Perbedaan antara revolusi industri abad ke-18 dan era sekarang terletak pada siapa yang menjadi korban dari kemajuan teknologi. Pada masa lalu, yang tergantikan adalah para pekerja otot—buruh pabrik dan tenaga kasar. Namun kali ini, justru para pekerja kerah putih berbasis otak yang pertama kali terdampak. 

Ujicoba Humanoid Terus Dilakukan

Namun tidak ada yang dapat bersorak gembira karena pekerjaannya tidak terdampak, karena jeda waktu antara pekerja kerah biru dan kerah putih, tidak akan lama. Sebab, pada akhirnya, hampir seluruh pekerja kerah biru juga akan digantikan oleh kecerdasan buatan dan humanoid.

Bahkan di China saat ini prototipe minimarket berbasis humanoid sudah mulai diuji. Minimarket tersebut sepenuhnya menerapkan otomasi tanpa campur tangan manusia. Sehingga kehadiran humanoid hanya soal waktu—dan waktunya tidak panjang. 

Di era AI yang bergerak menuju AGI, sejumlah riset lembaga menunjukkan bahwa kelompok paling rentan justru para pekerja muda, terutama lulusan baru dengan pengalaman kerja di bawah lima tahun. Hal ini terjadi karena kapasitas pembelajaran di universitas telah digantikan oleh AI. 

Kembali ke soal otomasi dan Akal Imitasi (AI), hubungan keduanya mengalami mutasi radikal. Modal kini tidak hanya dalam bentuk pabrik dan mesin, tetapi juga dalam bentuk kode, algoritma dan data — entitas digital yang mampu menciptakan nilai secara nyaris otonom atau hampir tanpa campur tangan manusia. 

Industri AI dan digital atau lini produksi otomasi Tesla tidak membutuhkan pekerja manusia dalam jumlah besar untuk tetap beroperasi dan menghasilkan keuntungan masif. Nilai yang tercipta bukan lagi hasil kerja kolektif buruh, melainkan produk sistem otomatis yang dimiliki dan dikuasai segelintir perusahaan global.

Teknofeodalisme: Babak Baru Kapitalisme

Akibatnya bisa ditebak, perlahan di berbagai belahan dunia (termasuk Indonesia) tenaga manusia perlahan mulai bergeser, selain juga ada faktor penurunan pertumbuhan ekonomi dan daya beli. Jika dulu kapitalisme tumpuan utamanya adalah tenaga kerja, kini bermutasi ke algoritma, data dan humanoid.

Atas fakta yang terjadi saat ini, terminologi teknofeodalisme menemukan relevansinya. Ini mirip dengan tuan tanah era kapitalisme klasik yang kekuatannya lewat penguasaan tanah sebagai pendulang laba. Dan sekarang perusahaan-perusahaan besar kini menguasai tanah baru berupa data, algoritma dan platform digital. 

Masyarakat dan bahkan negara pun menjadi tetap bergantung perusahaan-perusahaan ini baik untuk bekerja, belajar maupun sekadar mengakses layanan dasar. Tetapi tidak punya kuasa atas alat produksinya.

Pergeseran kuasa ini berdampak besar pada buruh yang tidak lagi menjadi sentral proses produksi. Upah murah dikalahkan oleh mesin dan sistem cerdas yang produktivitasnya berlipat-lipat dan lebih efisien. 

Hal ini menciptakan dampak signifikan bagi kelas pekerja kerah biru dan memukul pasar tenaga kerja di dunia Selatan, negara yang selama ini menjadi surga produksi karena upah buruh yang murah. Dan sekarang dunia selatan justru menjadi koloni digital yang baru.

Eksploitasi tenaga kerja menjadi cara lama yang ditinggalkan kapitalisme, bukan karena kesadarannya bahwa hal tersebut tidak baik atau mengundang kecaman. Melainkan karena telah bertransformasi menjadi penguasaan atas infrastruktur digital yang menopang kehidupan sehari-hari. 

Relevansi AGI dan Humanoid Bagi Indonesia

Bernard Haloho menyebutkan bahwa pakar futuris Ray Kurzweil pada 1999 mengatakan era Artificial General Intelligence (AGI) atau Kecerdasan Buatan Umum akan muncul pada 2029. Kala itu, hampir 80 persen ilmuwan komputer dunia meragukannya. Bahkan saat ini, Elon Musk memprediksi lebih cepat, yakni AGI akan memulai eranya pada 2026. 

Jika ekosistem AGI telah matang, menurutnya fase menuju Artificial Super Intelligence (AIS) atau Kecerdasan Buatan Super —yang kecerdasan buatannya melampaui kemampuan kolektif umat manusia— akan dimulai pada tahun 2045. Bertepatan dengan 100 tahun Indonesia emas.

AGI bukanlah kecerdasan mesin an sich, ini merupakan ekosistem global yang terkoneksi satu sama lain dalam skala planet. Inilah era dimana seluruh infrastruktur produksi dan sosial akan dijalankan oleh sistem non-manusia.

Lalu apa artinya bagi Indonesia? Yang akan merasakan dampaknya adalah buruh migran, guru, perawat atau pekerjaan yang selama ini menyerap tenaga kerja Indonesia yang ada di luar negeri, karena tergantikan oleh humanoid universal.

Tidak hanya buruh migran, berbagai industri perlahan akan menuju fase otomasi yang menggeser tenaga kerja agar dapat pangkas cost produksi dan efektif menggenjot margin. Akibatnya dapat ditebak, pekerja akan kehilangan upah dan jaminan sosial karena posisi sentralnya dalam proses produksi digantikan AGI dan humanoid.

Hilangnya upah berarti hilangnya daya beli masyarakat, dan baik rakyat maupun negara akan berada dalam situasi terjepit. Ini tak hanya akan terjadi di satu negara, melainkan di berbagai negara, terlebih negara-negara Selatan yang mengalami potensi ledakan pengangguran struktural. 

Hal ini akan memicu kerusuhan sosial yang menimbulkan ancaman instabilitas politik dan keamanan jika pemerintah tidak memiliki terobosan.

Bagian terburuknya adalah infrastruktur AI dan humanoid terkonsentrasi di tangan korporasi big tech. Sinyal ini semakin kuat karena dalam setiap kesepakatan negosiasi tarif, pemerintahan AS Donald Trump selalu menyertakan klausal pengelolaan data masyarakat negara yang melakukan negosiasi. 

Solusi UBI dan Sengkarut Kelola Data Indonesia

Saat ini gagasan Universal Basic Income (UBI) atau Pendapatan Dasar Universal kembali mengemuka untuk menjawab potensi kerusuhan sosial atas hilangnya pekerjaan manusia akibat otomatisasi dan kemajuan teknologi. 

Lalu, apakah UBI itu? Sederhananya, ini merupakan skema pemberian penghasilan tetap kepada setiap warga negara, tanpa syarat apa pun—tidak peduli ia bekerja atau tidak, miskin atau kaya. 

Tujuannya agar semua orang tetap memiliki jaring pengaman dasar untuk bertahan hidup, bahkan ketika pekerjaan semakin langka. Namun ide ini pun menuai perdebatan yakni bagaimana negara mampu membiayai dan juga psikologi ketergantungan penerima bantuan.

Kebijakan UBI melalui skema dua tahun pernah dilakukan di Finlandia, yang berlangsung pada 2017 dan 2018 dan menarik perhatian internasional secara luas ini memberikan penghasilan bulanan tetap sebesar €560 (£490) kepada 2.000 penganggur yang dipilih secara acak di seluruh negeri. Mereka tidak diwajibkan mencari kerja dan bila menerima pekerjaan pun pembayaran tersebut tidak dikurangi. Kanada juga pernah menerapkan kebijakan ini.

Juggernaut dan Teknofeodalisme di Asia Tenggara

Bagi Indonesia dan ASEAN, mungkin UBI akan menjadi solusi darurat jaring pengaman sosial, meskipun menurut Bernard solusi tersebut tetap berada dalam kerangka teknofeodalisme, yakni tetap membiarkan para oligarki mengatur ulang distribusi hasilnya. 

Dan penerapan skema bantuan UBI ini pun membutuhkan syarat politik teknologi yang jauh lebih radikal dan kepemimpinan politik yang kuat, tangguh, berwawasan, kreatif dan keberpihakan kepada rakyat. Karena dalam sistem teknofeodalisme, dibutuhkan kepemimpinan politik yang menempatkan manusia sebagai pusat peradaban, bukan sekadar mengejar laba.

Ia mewanti-wanti bahwa kemudahan yang ditawarkan akal imitasi memang terasa mulus untuk kehidupan sehari-hari, bahkan menyenangkan. Tapi ini dapat menjadi jebakan, karena tanpa antisipasi bijak dari para pemimpin, AI dan AGI bisa menjelma menjadi Juggernaut abad ke-21—meminjam istilah Anthony Giddens—yang mengubah lanskap dunia secara total dan radikal menuju peradaban baru.

Juggernaut merupakan istilah yang mengilustrasikan sesuatu yang sangat besar, kuat dan sulit dihentikan. Dan dalam konteks era disrupsi saat ini, AI dan AGI akan bergerak maju seperti mesin raksasa yang cepat, kuat dan mampu mengubah peradaban dunia secara total bila tidak diantisipasi.

Indonesia dan Kemajuan AI 

Pertanyaan besar saat ini adalah apakah Indonesia akan jadi pemain dalam ekosistem AI atau hanya pasar buruh yang tersingkir oleh mesin? Jawaban ini tentu berdasarkan antisipasi pemimpin nasional dalam merespon perkembangan teknologi.

Yang pasti, suka atau tidak, siap atau tidak, dunia akan bergerak menuju era yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Dan jawaban ini tergantung oleh kesiapan kita sekarang apakah Indonesia siap menjadi pemain atau menjadi ladang data garapan korporasi teknologi. 

Perubahan itu mungkin terasa mulus hari ini, tapi di baliknya ada gelombang besar yang bisa mengguncang peradaban. Seperti kereta raksasa yang tak terhentikan, AI akan tetap berjalan. Pilihannya hanya satu: ikut mengendalikan atau terseret di belakangnya. ***