Dari Jakarta Melihat Tbilisi,  Renungan Tentang Stabilitas Politik

Krisis di Georgia memperlihatkan bahwa stabilitas politik tak lagi soal urusan domestik. Ia menjadi cermin bagaimana keseimbangan kekuatan di Eurasia tengah bergeser menuju tatanan multipolar.
Peta politik Eurasia menggambarkan dinamika stabilitas politik dan perubahan keseimbangan kekuatan di kawasan.
Stabilitas politik di Eurasia diuji oleh krisis Georgia dan pergeseran aliansi strategis antarnegara.

LENTERAMERAH – Sehari sebelum Indonesia memperingati HUT TNI ke-80, pada 4 Oktober 2025 Georgia justru diguncang krisis politik. Negara kecil di pesisir Laut Hitam itu nyaris jatuh ke kekacauan politik ketika ribuan massa mengepung Istana Presiden di pusat ibu kota Tbilisi.

Kelompok oposisi yang tidak puas dengan hasil pemilu 2024, mencoba mendongkel kekuasaan partai Georgian Dream yang telah berkuasa sejak 2012. Meski telah berkuasa lebih dari satu dekade, partai ini populer di masyarakat dan berhasil memenangkan pemilihan lokal dengan lebih dari 80 persen suara. 

Apa yang terjadi di Tbilisi mengingatkan kita bahwa stabilitas politik di satu negara tak pernah berdiri sendiri, selalu beresonansi ke kawasan lain, baik di Tbilisi maupun di Jakarta.

Georgia berpenduduk 3,67 juta jiwa—hampir setara dengan Daerah Istimewa Yogyakarta. Luasnya 69.700 km², kira-kira sebesar Jawa Tengah, hanya saja populasinya jauh lebih sedikit.

Konflik politik di Georgia juga dipicu oleh faktor eksternal—perebutan pengaruh antara kelompok yang ingin menjaga keseimbangan dan mereka yang condong ke Uni Eropa.

Partai Georgian Dream, pemenang pemilu 2024, selama ini mencoba menempuh jalur moderat—menjaga keseimbangan antara hubungan ekonomi dengan Barat dan keamanan strategis dengan Rusia. 

Mirip yang dilakukan Serbia dengan doktrin luar negerinya, duduk di antara dua kursi. Agar ada keseimbangan.  

Namun posisi tengah itu membuat partai penguasa Georgia menjadi sasaran serangan oposisi domestik yang kecewa dan yang bertemu kepentingannya dengan kelompok asing pro-Uni Eropa. Karena mereka melihat Georgia sebagai pijakan politik di selatan Kaukasus.

Ketidakpuasan yang semula politik kini berubah bentuk menjadi tekanan jalanan. Beberapa tokoh oposisi, termasuk mantan presiden Salome Zurabishvili, tampil di barisan depan massa. Dukungan moral dari pejabat Uni Eropa memperkuat keyakinan bahwa perubahan rezim adalah keniscayaan. 

Ketua DPR Georgia Shalva Papuashvili dalam akun X-nya menegaskan bahwa peristiwa penyerbuan Istana Presiden di Tbilisi pada 4 Oktober 2025 bukan sekadar demonstrasi, melainkan upaya kudeta yang gagal.

Ia menuding bahwa gerakan tersebut digerakkan oleh kelompok radikal pro-Barat yang berusaha menggulingkan pemerintahan sah Georgia di bawah Partai Georgian Dream

Papuashvili juga menyebut tokoh sentral penyerbuan tersebut adalah mantan presiden Salome Zurabishvili. Ia menggambarkan Zurabishvili sebagai figur yang kehilangan legitimasi domestik, tetapi masih bertahan berkat dukungan Uni Eropa.

Menurutnya peristiwa tersebut sebagai hasil dari konspirasi radikal dan intrik asing yang berupaya menciptakan “revolusi warna” baru di Georgia. Ia menyebut ini sebagai bukti bahwa dukungan politik luar negeri dapat menjadi alat destabilisasi, bukan demokratisasi.

Ironisnya, mantan presiden Salome Zurabishvili yang sudah tidak berkuasa lagi masih melakukan pertemuan dengan berbagai kelompok di Eropa dengan membawa simbol kenegaraan Georgia. Dan secara terbuka memosisikan diri sebagai “presiden sah”, meskipun masa jabatannya telah berakhir. Inilah yang membuat geram. Sudah mantan kok masih mengaku-aku.

Papuashvili kembali menegaskan bahwa aksi tersebut bukan protes spontan, tapi bagian dari upaya terencana untuk menggoyang pemerintahan sah.

Perdana Menteri Georgia Irakli Kobakhidze dalam pidatonya menyebut bahwa negaranya telah mengalami lima upaya revolusi dalam empat tahun terakhir, dengan yang terbaru—penyerbuan ke kediaman presiden—.

Dari sinilah, gejolak internal negara ini menjelma menjadi babak baru dalam perebutan pengaruh geopolitik di Kaukasus Selatan. Posisi Georgia di jalur energi dan pertahanan membuat setiap gejolak di Tbilisi langsung menggoyang keseimbangan kawasan. 

Jadi, ini bukan lagi urusan domestik, tapi sudah ke soal pergeseran poros strategis Eurasia.

Rekonfigurasi Blok Pengaruh di Kaukasus

Bagi masyarakat di Indonesia atau Asia Tenggara pada umumnya, Georgia terlalu jauh dan tidak terlalu familiar. Berbeda dengan Rusia atau Belarus. Namun ada hal menarik dari kudeta merangkak 4 Oktober yang gagal dan memiliki butterfly effect bagi kawasan. 

Negara yang terkenal sebagai penghasil anggur ini berdiri di persilangan rute kuno antara Laut Hitam, Rusia, dan Timur Tengah—sebuah posisi yang membuatnya selalu menjadi rebutan pengaruh. 

Kemenangan revolusi warna di Georgia berarti otomatis memperluas jangkauan NATO dari Baltik hingga Laut Hitam.

Dus, mengubah konfigurasi geopolitik kawasan dan berdampak langsung pada Armenia –sekarang tengah mesra dengan Barat akibat kekecewaannya pada Rusia– yang mendapatkan tekanan politik baru dari Barat untuk melepaskan diri sepenuhnya dari Rusia. 

Bagi Moskow, langkah itu akan dibaca sebagai pengkhianatan strategis yang harus direspon. Misalnya seperti peningkatan aktivitas di Gyumri yang merupakan pangkalan militer Rusia ke-102. Atau bisa juga dalam bentuk tekanan atas energi. Hal serupa juga akan dialami Azerbaijan.

Sebagai tetangga dekat, Georgia dan Rusia mencoba saling memahami posisi masing-masing dan Moskow tidak ingin kehilangan negara tetangga bersahabat ditengah sikap permusuhan yang ditunjukkan negara-negara Uni Eropa (minus Hongaria dan Slovakia).

Sekali lagi, krisis politik di Georgia kini menjadi bagian dari pertarungan pengaruh di selatan Kaukasus—wilayah yang menentukan keseimbangan baru dalam arsitektur Eurasia.

Eurasia Menghindari Ukraina Kedua

Kegagalan Georgia menjaga keseimbangan dalam percaturan geopolitik kawasan akan melahirkan instabilitas. Georgia selama ini menjadi geopolitical Pivot (poros geopolitik) yang mampu mendayung di antara dua kekuatan besar. Dan bagi negara-negara Eurasia yang tengah mengkonsolidasikan kawasan, ini merupakan faktor krusial.

Apa yang terjadi di Georgia merupakan potensi terciptanya front baru bagi Rusia, dimana perang di Ukraina menjelma sebagai front statis yang berlarut-larut. 

Negara-negara NATO yang selama ini mendukung Ukraina amat berkepentingan Georgia masuk dalam pengaruh blok ini untuk menciptakan titik tekanan baru yang lebih murah secara politik dan psikologis, bukan militer. 

Hal ini diperlukan untuk menciptakan gangguan bagi Moskow karena jika Georgia menjelma menjadi front politik alternatif, maka akan mengalihkan perhatian dan sumber daya Rusia.

Dan Moskow akan dipaksa membuka “front pengaruh” di selatan, sementara militernya tetap terfokus di Ukraina.

Kemungkinan yang dilakukan Kremlin jika kelompok pro Eropa memenangkan pertarungan politik di Georgia adalah meningkatkan kehadiran militer di Abkhazia dan Ossetia Selatan. 

Dalam hal ini, mungkin negara-negara di kawasan memiliki perspektif yang sama, Ukraina kedua harus dihindari. Tak hanya itu, instabilitas regional akan menciptakan premi risiko tinggi di jalur energi–perdagangan yang mengganggu koridor Eurasia. 

Padahal ini koridor vital untuk menembus pasar Asia yang berkembang pesat dan angkat koper dari market benua Eropa yang bergejolak.

Butterfly Effect Eropa Timur dan Balkan

Revolusi warna masih menjadi alat ampuh untuk melakukan instabilitas politik diberbagai negara yang disponsori oleh jejaring transnasional pendukung demokrasi liberal.

Aksi politik ini juga sukses melakukan pergantian rezim di berbagai negara melalui kekacauan keamanan dan politik. 

Yang pasti, jika creeping coup atau revolusi warna berhasil dilakukan di Georgia, maka ini akan memberikan amunisi baru bagi oposisi pro Uni Eropa di Moldova, Serbia dan Belarus. 

Tak hanya Georgia, Serbia pun beberapa kali mengalami percobaan revolusi warna yang mendompleng ketidakpuasan masyarakat pada pemerintahan Alexandr Vucic. 

Setali tiga uang, Belarus juga pernah mengalami percobaan terjadi gerakan menuntut pergantian pemerintahan Lukashenko dimana kelompok oposisi menyatakan ketidakpuasannya atas hasil pemilihan presiden. Sulit untuk tidak melihat residu percobaan “kudeta Maidan” ini.

Dan selain memberikan amunisi baru bagi kelompok oposan, ini juga akan menciptakan tekanan bagi negara-negara penyeimbang –yang selama ini pro perdamaian di blok Uni Eropa atas masalah Ukraina– seperti Hongaria dan Slovakia. 

Ini akan menjadi tesis NATO-UE bahwa transformasi politik di Eropa Timur dan semenanjung Balkan masih memungkinkan.

Momentum Politik

Apa yang terjadi di Georgia sepertinya akan mempengaruhi Moskow dan Minsk, dengan posisi Belarus sebagai geopolitical Pivot bagian Utara Eurasia, akselerasi integrasi pertahanan antar kedua negara dalam kerangka Union State tak terelakkan. 

Integrasi tersebut sudah terjadi dengan ditempatkannya rudal nuklir taktis dan laporan dari media juga menyebutkan rudal balistik hipersonik jarak menengah Oreshnik, Kinzhal (hipersonik udara-luncur) dan pesawat MiG-31K pembawa Kinzhal milik Rusia dilaporkan media telah bercokol di Belarus. 

Langkah ini menambah tekanan strategis terhadap Polandia, kawasan Baltik dan struktur pertahanan NATO di timur Eropa.

Di tengah peta geopolitik yang makin panas, apa yang terjadi di Georgia tak bisa dilihat sebagai peristiwa terpisah. Ini justru dapat menciptakan common sense untuk menjaga stabilitas kawasan. 

Secara tidak langsung, percobaan revolusi warna 4 Oktober di Georgia menambah bobot politik perhelatan Konferensi Internasional Minsk ke-3 tentang Keamanan Eurasia pada 28–29 Oktober 2025. 

Forum ini akan menjadi ruang bagi negara-negara Eurasia untuk menegaskan perannya dalam menghadapi perubahan tatanan global yang kian dinamis. 

Selain itu arah baru geopolitik regional akan diuji, mulai dari pembahasan tentang tatanan dunia baru, keamanan kolektif, dan peran teknologi serta kecerdasan buatan menjadi fondasi bagi visi pertahanan abad ke-21.

Dan negara-negara peserta juga melakukan penyusunan Eurasian Charter of Diversity and Multipolarity in the XXI Century—sebuah inisiatif yang menempatkan prinsip kedaulatan, kesetaraan dan keseimbangan kekuatan sebagai dasar hubungan antarnegara. 

Piagam ini menjadi respons langsung terhadap instabilitas yang dipicu oleh intervensi eksternal—dan sekaligus menandai tekad Eurasia untuk membangun arsitektur keamanan yang lebih mandiri dan inklusif. ***