LENTERAMERAH – Di Gaza, harga kebutuhan pokok melonjak sampai titik tak masuk akal. Di tengah reruntuhan dan blokade yang panjang, warga mulai menyadari bahwa kenaikan harga bukan semata akibat perang, melainkan bagian dari mekanisme ekonomi yang dikendalikan dari luar.
“Israel is killing us with our own empty pockets,” ujar seorang pedagang di Rafah yang kini menjual bahan makanan tiga kali lipat lebih mahal dibanding masa sebelum perang.
Setiap truk bantuan atau barang dagangan yang melintasi perbatasan harus membayar biaya koordinasi yang disebut warga sebagai bentuk pemerasan. Angkanya mencapai ratusan ribu shekel per truk.
Untuk daging, biayanya sekitar 800.000 shekel; sepatu 450.000; dan sayur 150.000. Sebelum perang, satu kiriman senilai enam ribu dolar kini harus ditebus hingga 65 ribu dolar.
Setelah melewati biaya logistik, pungutan internal dan laba pedagang, semua beban itu jatuh ke tangan konsumen Gaza yang kian tak berdaya.
Kenaikan harga sembako di Gaza kini melampaui batas wajar. Sebelum perang, satu karton telur dijual sepuluh shekel; kini mencapai 120 shekel.
Keluarga pengungsi tak lagi mampu membeli makanan sederhana, sementara bantuan internasional tertahan di titik masuk. Organisasi kemanusiaan menilai sistem distribusi yang dikendalikan penuh oleh Israel telah menjadikan pangan sebagai alat tekanan ekonomi dan politik.
Israel kendalikan harga sembako di Gaza bukan hanya lewat blokade fisik, tetapi juga melalui kendali atas jalur logistik dan sistem izin distribusi.
Setiap pergerakan barang dari luar wilayah harus melewati mekanisme yang ditentukan militer, dengan biaya tambahan yang terus meningkat. Dalam situasi seperti ini, Gaza tidak hanya kehilangan ruang gerak, tetapi juga kedaulatan ekonominya.
Bagi banyak warga, keadaan ini lebih dari sekadar krisis kemanusiaan. Mereka menyebutnya ekonomi perang—di mana kelaparan menjadi industri yang menghasilkan keuntungan.
Israel menguasai arus barang, mengatur harga, dan pada akhirnya memungut laba dari penderitaan rakyat Palestina yang dikepung.
Bagi banyak warga, keadaan ini lebih dari sekadar krisis kemanusiaan. Mereka menyebutnya ekonomi perang—di mana kelaparan menjadi industri yang menghasilkan keuntungan.
Israel menguasai arus barang, mengatur harga, dan pada akhirnya memungut laba dari penderitaan rakyat yang dikepung.
Di pasar-pasar Gaza, pedagang berjuang menyesuaikan harga setiap hari, sementara pembeli semakin sedikit.
Setiap transaksi berlangsung di bawah bayang-bayang blokade dan biaya izin yang terus naik, menjadikan logistik pangan sebagai salah satu sektor paling terkontrol di wilayah tersebut. ***




