Ibrahim Traoré dan Bayang Revolusi Sankara di Burkina Faso

Ibrahim Traoré dan Bayang Revolusi Sankara di Burkina Faso.
Langkah tegas Ibrahim Traoré Burkina Faso menguasai tambang nasional kembali menghidupkan memori revolusi Thomas Sankara..

LENTERAMERAH – Ketika Presiden Burkina Faso Ibrahim Traoré menyampaikan sikap pemerintah terhadap perusahaan asing yang beroperasi di sektor pertambangan, pernyataannya menandai perubahan kebijakan yang signifikan. 

Dalam pidatonya, Traoré menyebut bahwa Burkina Faso tidak mendapatkan dukungan pertahanan yang memadai dari beberapa negara yang telah lama memiliki kepentingan ekonomi di wilayah tersebut. Ia menyatakan bahwa pemerintah akan meninjau ulang dan, bila perlu, mencabut izin eksploitasi yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan tersebut.

“Ada kekuatan yang memanfaatkan mineral kami namun pada saat yang sama menghambat akses Burkina Faso terhadap peralatan yang kami butuhkan. Kebijakan seperti itu tidak dapat terus dibiarkan,” kata Traoré dalam pidatonya.

Kebijakan itu berkaitan dengan agenda nasionalisasi tambang yang dimulai pada 2024–2025. Pemerintah beralasan bahwa langkah tersebut bertujuan memperkuat pendapatan negara dan mengurangi ketergantungan terhadap investor asing, terutama di sektor emas yang menjadi salah satu sumber devisa utama Burkina Faso. 

Dalam pernyataannya, Traoré menegaskan bahwa pemerintah berencana mengelola beberapa konsesi tambang secara mandiri apabila ditemukan ketidaksesuaian antara izin operasi dan kepentingan nasional.

“Kami akan mencabut izin eksploitasi yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional, dan jika diperlukan, kami akan mengelola sumber daya itu sendiri.”

Langkah tersebut memunculkan kembali perdebatan lama mengenai hubungan antara negara-negara Afrika dan perusahaan multinasional yang mengelola sumber daya alam di benua itu. 

Pemerintah Burkina Faso menilai bahwa peninjauan izin tambang merupakan bagian dari upaya memperbaiki struktur ekonomi nasional serta memperkuat kapasitas negara dalam mengelola sumber daya strategis.

Ibrahim Traoré dan Thomas Sankara

Perkembangan kebijakan era Traoré ini memunculkan kembali perhatian publik terhadap masa pemerintahan Thomas Sankara, pemimpin Burkina Faso pada 1983–1987 yang dikenal dengan program nasionalisasi, reformasi agraria, dan kebijakan anti-korupsi. Sankara juga menerapkan pembatasan terhadap perusahaan asing dan mengedepankan kemandirian ekonomi sebagai tujuan utama negara.

Sankara meninggal pada 15 Oktober 1987 dalam sebuah kudeta yang dipimpin oleh Blaise Compaoré. Peristiwa itu menjadi salah satu tragedi politik paling dikenal di Afrika Barat. Menurut laporan resmi dan kesaksian yang terdokumentasi, kudeta terjadi ketika Sankara sedang menghadiri pertemuan internal pemerintah di Ouagadougou. 

Ia tewas saat mencoba keluar dari ruangan setelah terjadi serangan bersenjata di kompleks tersebut. Dua belas rekannya juga meninggal dalam insiden itu, sementara Compaoré kemudian mengambil alih kekuasaan dan memimpin negara hingga 2014.

Kini, sebagian masyarakat Burkina Faso melihat adanya kesinambungan ideologis antara kebijakan Traoré dan pendekatan ekonomi Sankara. Referensi terhadap warisan politik Sankara kembali mencuat dalam diskusi publik, terutama terkait isu pengelolaan sumber daya alam dan kemandirian ekonomi nasional. 

Meski konteks politik kedua era tersebut berbeda, perbandingan yang muncul menunjukkan bahwa figur Sankara tetap memiliki pengaruh kuat dalam dinamika sosial dan politik Burkina Faso masa kini.

Jejak Revolusi yang Tak Pernah Padam

Pada 15 Oktober 1987, di markas Conseil de l’Entente Ouagadougou, Thomas Sankara ditembak mati dalam sebuah kudeta yang dipimpin sahabatnya sendiri, Blaise Compaoré. Peristiwa itu bukan sekadar pembunuhan; itu adalah eksekusi terhadap sebuah proyek revolusi. 

Mendekati pukul 4 sore, tembakan meletus di halaman. Sankara berdiri dan berkata kepada para stafnya: “It’s me they want.” Ia melangkah keluar dengan tangan terangkat—dan ditembak hingga tewas. Dua belas rekannya menyusul. Hanya satu orang selamat.

Mengapa ia dibunuh? Karena ia menolak tunduk. Ia menolak dikendalikan perusahaan tambang asing. Ia menolak utang kolonial. Ia menolak intervensi Prancis. Dan ia menolak gagasan bahwa rakyat Afrika harus menerima kemiskinan sebagai takdir.

Revolusi Sankara tidak berhenti pada pidato. Ia menggerakkan kampanye literasi, mencetak dokter lewat kerja sama besar dengan Kuba, membangun irigasi, memberdayakan perempuan, dan menurunkan tingkat buta huruf dari 90% ke 70% dalam beberapa tahun. Itulah yang membuatnya berbahaya bagi tatanan lama.

Traoré dan Bayang-Bayang Sejarah

Kini, ketika Ibrahim Traoré Burkina Faso mencabut izin tambang asing dan bersumpah menguasai kembali emas negaranya, rakyat melihat sesuatu yang akrab. Poster Sankara kembali muncul di jalan-jalan. Lagu-lagu revolusi dinyanyikan ulang. Bagi banyak orang, Traoré bukan sekadar presiden muda; ia adalah gema dari pemimpin yang pernah mereka kehilangan.

Dan di negeri yang pernah kehilangan revolusinya karena pengkhianatan, gema itu lebih nyaring dari sebelumnya. ***