.
LENTERAMERAH Lenteramerah.com— Sejumlah pihak mengingatkan pemerintah dan publik agar tidak terjebak pada narasi tunggal dalam merespons bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera.
Bencana tersebut dinilai tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan persoalan struktural tata kelola lingkungan yang telah berlangsung lama.
Nama Ary Bakrie dan Marcella Santoso kembali muncul dalam perbincangan publik. Keduanya sebelumnya dikenal lewat polemik kampanye opini bertajuk “Indonesia Gelap”.
Kini, sejumlah pengamat menilai isu bencana berpotensi dimanfaatkan sebagai alat pengalihan perhatian dari penyelidikan kejahatan lingkungan masa lalu.
Pelajaran dari Kebakaran Global
Pemerintah Korea Selatan pada Maret 2025 menetapkan status bencana nasional setelah kebakaran hutan besar melanda Ulsan dan wilayah tenggara.
Penetapan tersebut dilakukan untuk mempercepat penanganan serta memastikan akuntabilitas dampak lingkungan dan sosial.
Kasus tersebut kerap dibandingkan dengan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada 2015.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sekitar 2,61 juta hektare lahan terbakar di 31 provinsi, dengan 24 korban jiwa serta dampak kesehatan yang luas akibat kabut asap.
Saat itu, pemerintah tidak menetapkan status bencana nasional.
Salah satu pertimbangannya adalah kekhawatiran status tersebut dapat dimanfaatkan untuk membenarkan praktik pembakaran lahan oleh korporasi.
Karhutla 2015 dan Tanggung Jawab Korporasi
BNPB menyatakan sebagian besar kebakaran hutan 2015 dipicu pembakaran disengaja untuk pembukaan lahan.
Sejumlah perusahaan perkebunan sawit sempat disorot karena diduga terlibat dalam praktik tersebut.
Namun, hingga satu dekade berlalu, penyelesaian hukum atas kasus-kasus besar karhutla dinilai belum sepenuhnya tuntas.
Kondisi ini menjadi latar kekhawatiran bahwa isu bencana terkini dapat mengaburkan tuntutan pertanggungjawaban korporasi.
Narasi Bencana di Era Pemerintahan Baru
Di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, isu banjir bandang dan longsor di Sumatera kembali menguat.
Sejumlah analis menilai pemerintah perlu berhati-hati agar penanganan bencana tidak terjebak pada pendekatan reaktif semata.
Nama Marcella Santoso dan Ary Gadun kembali disebut setelah keduanya menyampaikan permintaan maaf kepada Kejaksaan Agung terkait kampanye opini yang menuai kontroversi.
Kemunculan kembali nama-nama tersebut memunculkan dugaan adanya upaya mengalihkan fokus aparat penegak hukum dari kejahatan lingkungan yang terjadi dalam satu dekade terakhir.
Banjir di Sumatera, menurut sejumlah kajian lingkungan, berkaitan erat dengan laju deforestasi dan alih fungsi hutan, terutama untuk perkebunan skala besar.
Sorotan terhadap Aktivisme dan Bisnis
Perhatian publik juga tertuju pada Virdian Aurelio, aktivis lingkungan yang dikenal vokal mengkritik industri sawit.
Namun, keterlibatannya dalam PT Digdaya Agro Indonesia perusahaan yang bergerak di bidang survei dan analisis lahan berbasis teknologi drone memunculkan pertanyaan di kalangan pengamat.
Teknologi pemetaan tersebut lazim digunakan di sektor pertanian dan perkebunan, termasuk dalam perencanaan pembukaan lahan.
Kritik muncul karena perusahaan tersebut disebut menjalin kerja sama dengan entitas perkebunan negara di wilayah Sumatera, kawasan yang kini terdampak banjir.
Penegakan Hukum dan Respons Pemerintah
Pemerintah menyatakan komitmen untuk menindak pelanggaran lingkungan dan korupsi di sektor sumber daya alam.
Salah satu kasus yang ditangani adalah dugaan korupsi di PTPN I terkait penjualan aset negara untuk pengembangan perumahan, dengan pengembalian kerugian negara sebesar Rp263 miliar.
Sejumlah kalangan menilai kasus tersebut dapat menjadi indikator keseriusan pemerintah dalam menata ulang pengelolaan BUMN dan sektor perkebunan.
Catatan Akhir
Pengamat menilai bencana alam semestinya menjadi momentum evaluasi kebijakan tata kelola hutan dan lahan.
Tanpa penyelesaian menyeluruh atas kejahatan lingkungan masa lalu, bencana serupa berpotensi terus berulang.
Penanganan bencana, menurut mereka, perlu disertai penegakan hukum yang konsisten agar tidak berhenti pada respons darurat, melainkan berujung pada perubahan struktural.
Silakan tentukan.




