Menjawab Makna Kejayaan Minahasa dan Akar Kolektif yang Disatukan

Monumen Pinawetengan menjadi saksi bisu lahirnya semangat kolektif dan kejayaan Minahasa sebagai kekuatan budaya dan sejarah yang masih relevan hingga kini.

Oleh: Jak Tumewan, pendiri Perhimpunan Minahasa Raya (PMR)

LENTERAMERAH – Menjelang deklarasi resmi Perhimpunan Minahasa Raya (PMR) di Jakarta, satu pertanyaan penting terkait kejayaan mengemuka di kalangan masyarakat dan pengamat budaya.

Apa yang dimaksud dengan membangun kembali kejayaan Minahasa? Adakah dasar historisnya? Dan bagaimana kita memaknai Minahasa itu sendiri di tengah Indonesia yang sedang bergulat dengan identitas kolektif?

Pertanyaan ini bukan sekadar semantik, tapi menyentuh nadi dari apa yang hendak diperjuangkan oleh PMR. Maka perlu dijawab bukan dengan jargon, tetapi dengan kesadaran sejarah dan kedalaman makna.

Kejayaan Minahasa, dalam pengertian paling otentik, merujuk pada masa-masa ketika masyarakat Minahasa dikenal karena semangat juangnya, kecemerlangan pendidikannya, integritas moralnya, serta kontribusinya yang besar dalam membentuk Republik ini.

Sejarah mencatat, Minahasa bukan wilayah yang ditaklukkan dengan senjata. Perjanjian dengan VOC tahun 1679 menunjukkan bahwa Minahasa menjalin aliansi politik karena kekuatan dan posisi tawarnya yang kuat.

Ini bukan semata kemenangan diplomatik, tapi bukti bahwa sejak awal, masyarakat Minahasa memiliki kesadaran politik dan kolektif yang tinggi.

Tak hanya itu, Minahasa juga tumbuh sebagai pusat pendidikan dan pembentukan sumber daya manusia unggul.

Sejak masa kolonial, akses terhadap pendidikan misionaris dan semangat belajar membuat anak-anak Minahasa menonjol di berbagai bidang: militer, kesehatan, administrasi, dan hukum.

Dalam sejarah republik, nama-nama seperti Sam Ratulangi, Maria Walanda Maramis, A.A. Maramis, hingga Pierre Tendean menjadi bukti bahwa Minahasa bukan hanya bagian dari republik—tetapi ikut menyusunnya.

Kejayaan itu juga tercermin dalam semangat persatuan. Sebelum bernama Minahasa, tanah ini dikenal sebagai Malesung.

Lalu kemudian melalui proses musyawarah dan kesepakatan di Watu Pinawetengan, melahirkan satu identitas: Minahasa—yang berarti “yang telah menjadi satu.”

Sebuah nama yang lahir dari kehendak untuk bersatu, bukan dari pemaksaan kekuasaan luar. Hari ini, ketika kita berbicara tentang membangun kembali kejayaan Minahasa, kita tidak sedang membayangkan kejayaan masa lalu sebagai tugu yang didandani.

Kita sedang berusaha menghidupkan kembali semangatnya—yakni keberanian untuk berpikir sendiri, keberanian untuk membentuk jaringan nilai.

Serta kesediaan untuk kembali menjadi bagian dari jawaban atas persoalan kebangsaan.

Perhimpunan Minahasa Raya tidak hadir untuk menciptakan eksklusivitas, tetapi untuk menjahit ulang kebersamaan yang tercerai oleh waktu dan jarak.

Ia ingin memastikan bahwa diaspora Minahasa, yang tersebar di banyak kota dan bahkan luar negeri, tetap memiliki jangkar identitas—bukan sekadar adat dan upacara, tetapi nilai dan kontribusi nyata.

Kejayaan Minahasa bukanlah klaim, melainkan tugas. Dan PMR mengambil tugas itu sebagai pijakan untuk merancang masa depan, bukan hanya bagi Minahasa, tapi bagi Indonesia yang sedang mencari kembali suaranya dari pinggiran di tengah riuh geopolitik. ***