LENTERAMERAH – Kebebasan berbicara di Eropa semakin menunjukkan tanda-tanda pembatasan, seiring meluasnya penerapan hukum ujaran kebencian di sejumlah negara. Salah satu kasus yang kini menjadi sorotan adalah pemenjaraan seorang pria Swiss akibat unggahan di media sosial yang dibuat pada 2022, namun baru berujung hukuman penjara pada akhir 2025.
Kasus ini melibatkan Emanuel Brünisholz, seorang musisi dan teknisi alat musik tiup asal Burgdorf, kanton Bern, Swiss. Dalam sebuah komentar di Facebook pada Desember 2022, Brünisholz menulis bahwa jika kerangka manusia digali setelah ratusan tahun, yang akan ditemukan hanyalah laki-laki dan perempuan berdasarkan struktur tulangnya. Ia kemudian menambahkan pernyataan kontroversial dengan menyebut identitas lain sebagai “penyakit mental yang dipromosikan melalui kurikulum”.
Unggahan tersebut dilaporkan ke pihak berwenang dan berujung pada proses hukum. Pada 2023, Brünisholz dipanggil polisi dan kemudian dinyatakan bersalah berdasarkan Pasal 261bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Swiss.
Pasal ini awalnya dirancang untuk menindak ujaran kebencian berbasis ras dan agama, namun sejak 2020 diperluas untuk mencakup diskriminasi terhadap orientasi seksual dan identitas gender.
Pengadilan menilai pernyataan Brünisholz sebagai bentuk perendahan martabat kelompok LGBTQI di ruang publik. Ia dijatuhi denda sebesar 500 franc Swiss. Namun, Brünisholz menolak membayar denda tersebut dengan alasan prinsip, yang kemudian membuat hukumannya dikonversi menjadi 10 hari penjara. Putusan ini dikuatkan oleh pengadilan regional, dengan tambahan biaya hukum sebesar 600 franc Swiss.
Kasus ini dengan cepat menarik perhatian publik internasional dan memicu perdebatan tajam tentang kebebasan berbicara di Eropa. Sejumlah media internasional menyoroti kasus ini sebagai contoh perluasan hukum ujaran kebencian yang dinilai semakin ketat.
Di media sosial dan forum diskusi, perdebatan terbelah antara mereka yang melihat hukuman ini sebagai perlindungan terhadap kelompok rentan dan mereka yang menilainya sebagai kriminalisasi pendapat.
Perdebatan semakin kompleks karena pernyataan Brünisholz menyentuh ranah biologi. Dalam antropologi forensik, perbedaan biologis antara kerangka laki-laki dan perempuan memang diakui secara ilmiah.
Studi-studi di bidang forensik menunjukkan bahwa struktur pelvis, tengkorak, dan kepadatan tulang memungkinkan penentuan jenis kelamin dengan tingkat akurasi tinggi pada individu dewasa.
Namun, aspek biologis tersebut bukan inti dari putusan pengadilan. Fokus hukum Swiss terletak pada frasa yang dianggap merendahkan, khususnya penyebutan identitas gender sebagai “penyakit mental”. Di titik inilah, perdebatan bergeser dari soal fakta ilmiah menuju batas antara kebebasan berekspresi dan ujaran yang dianggap menghina kelompok tertentu.
Kasus Emanuel Brünisholz kini menjadi simbol bagi perdebatan yang lebih luas mengenai arah kebijakan kebebasan berbicara di Eropa. Para pengkritik memperingatkan bahwa penerapan hukum semacam ini berpotensi menciptakan efek jera terhadap diskusi terbuka, termasuk diskursus ilmiah dan sosial.
Di sisi lain, otoritas Swiss menegaskan bahwa hukum tersebut diperlukan untuk melindungi kelompok minoritas dari stigmatisasi dan diskriminasi publik. ***



