Perempuan dan Politik, Kisah Nurhayati Assegaf Pimpin Fraksi Terbesar di DPR

Nurhayati Ali Assegaf berbagi kisah memimpin fraksi terbesar di DPR, menghadapi resistensi laki-laki dan pesan pentingnya ruang politik bagi perempuan.
Nurhayati Ali Assegaf saat berbicara tentang perempuan dan politik di Indonesia.
Nurhayati Ali Assegaf pernah menjadi simbol perempuan dan politik yang menjadi kisah penting di DPR: dari memimpin fraksi terbesar hingga memperjuangkan ruang bagi perempuan muda di Senayan.

LENTERAMERAH Nama Nurhayati Ali Assegaf lekat dengan perjalanan panjang politik perempuan di Indonesia. Tiga periode duduk di parlemen (periode 2004 hingga 2014) dan pernah memimpin Fraksi Partai Demokrat dengan 148 anggota.

Hal ini membuatnya dijuluki salah satu perempuan terkuat di Indonesia. Bagi Nurhayati, dunia politik memang keras, namun tetap bisa dijalani tanpa kehilangan jati diri.

Memimpin dengan Karakter Perempuan

Saat dipercaya partai untuk memimpin fraksi terbesar di DPR, Nurhayati menghadapi dunia politik yang identik dengan laki-laki. Namun ia memilih tetap memimpin dengan gaya khas perempuan. 

“Meskipun saya jadi pemimpin, saya harus memimpin sebagai perempuan. Bukan berubah jadi laki-laki untuk memimpin laki-laki,” ujarnya pada lenteramerah.com belum lama ini.

Ia menekankan pentingnya merangkul dan menjaga emosi dalam setiap keputusan. Ketika lawan politiknya marah, Nurhayati memilih tersenyum dan berdialog. 

“Saya bilang, apa yang salah dengan kebijakan yang kita buat? Sampaikan saja. Jangan adu jotos,” katanya saat ditemui di kantor Nuraa Woman Institute di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Prinsip lead like a woman inilah yang menjadi pegangan selama ia menjabat.

Resistensi dari Politisi Laki-Laki

Keputusan Nurhayati mendorong lebih banyak perempuan menduduki kursi pimpinan komisi menuai perlawanan keras. Banyak anggota laki-laki merasa tersinggung karena posisinya digantikan. “Ketua fraksinya sudah perempuan, kenapa pimpinan komisi juga harus perempuan?” begitu kemarahan yang saat itu ia dengar.

Bagi Nurhayati, penolakan itu hanya cermin bias gender yang sudah mengakar. Ia menegaskan bahwa perempuan punya kapasitas yang sama. “Kenapa harus laki-laki semua? Kita punya anggota perempuan yang pintar dan hebat. Kenapa tidak diberi kesempatan?” ucapnya kala itu.

Pesan untuk Perempuan Muda

Pengalaman panjang di politik membuat Nurhayati ingin membuka jalan bagi generasi berikutnya. Ia mendorong perempuan muda agar tidak ragu terjun ke dunia yang sering dicap brutal. “Perempuan itu tidak kalah pintar. Smart woman itu tahu memanfaatkan waktu, tahu prioritas,” pesannya.

Namun, ia juga mengingatkan pentingnya persiapan. Perempuan harus kritis memilih partai politik, melihat platform, statuta, dan rekam jejak pro-perempuan atau tidak. Baginya, kuota 30 persen tidak boleh menjadikan perempuan sekadar “pelengkap” demi aturan pemilu.

Refleksi Nurhayati

Bagi Nurhayati, keberadaan perempuan dalam politik bukanlah anomali, melainkan kebutuhan. “Kalau semua posisi hanya diisi laki-laki, politik akan timpang. Perempuan harus ada untuk melengkapi, bukan sekadar bersaing,” tegasnya. ***