LENTERAMERAH – Dilema geopolitik Serbia muncul setelah tuduhan keterlibatan dalam ekspor senjata ke Ukraina mencuat.
Serbia menyatakan diri netral secara militer, tetapi justru mendapat tuduhan menyuplai amunisi ke Kyiv melalui negara ketiga.
Situasi ini menimbulkan dilema geopolitik Serbia dalam menyeimbangkan kepentingan strategisnya di antara Rusia, NATO dan aspirasi keanggotaan Uni Eropa.
Sejarah hubungan Serbia dengan NATO penuh luka. Pada tahun 1999, NATO meluncurkan kampanye pemboman terhadap Serbia selama Perang Kosovo, meninggalkan trauma kolektif yang hingga kini membentuk sentimen publik anti-NATO.
Meskipun begitu, Serbia bergabung dalam Partnership for Peace (PfP) pada 2006 dan sejak 2015 menjalankan Individual Partnership Action Plan (IPAP), yang menjadi kerangka utama kerjasama teknis dan reformasi pertahanan.
Namun, tidak seperti tetangga-tetangganya — seperti Kroasia dan Montenegro yang kini menjadi anggota NATO — Serbia menolak ide keanggotaan penuh.
Pemerintah secara konsisten menegaskan komitmen pada kebijakan netralitas, warisan dari masa Yugoslavia yang memelopori Gerakan Non-Blok.
Dokumen resmi Serbia menyatakan bahwa netralitas ini tetap menjadi prinsip utama kebijakan luar negeri dan pertahanan.
Sikap netral tersebut semakin rumit oleh kedekatan historis Serbia dengan Rusia. Keduanya berbagi akar budaya Slavia dan Ortodoks Timur.
Rusia telah lama menjadi pendukung kuat posisi Serbia dalam isu Kosovo, terutama dalam forum internasional. Di sisi lain, Serbia sangat bergantung pada pasokan gas dari Rusia, memperkuat ikatan ekonomi dan strategis keduanya.
Namun tekanan dari arah berlawanan juga tak kalah kuat. Sebagai kandidat anggota Uni Eropa, Serbia harus menyesuaikan kebijakannya dengan sanksi UE terhadap Rusia.
Serbia belum sepenuhnya mengikuti sanksi tersebut, namun tekanan diplomatik dari Brussels terus meningkat dan membuat posisinya makin sulit.
Tuduhan dari intelijen Rusia bahwa Serbia mengekspor amunisi ke Ukraina melalui negara anggota NATO seperti Polandia, Bulgaria, dan Republik Ceko, menunjukkan keterlibatan tidak langsung Serbia dalam konflik tersebut.
Perusahaan milik negara seperti Yugoimport SDPR disebut memainkan peran penting dalam skema ini, meskipun Presiden Vucic membantah keterlibatan resmi dan memerintahkan investigasi.
Dinamika domestik turut memperumit situasi. Mayoritas partai politik besar di Serbia tidak mendukung keanggotaan NATO, dan opini publik cenderung negatif terhadap aliansi tersebut.
Hanya partai kecil seperti Serbian Renewal Movement dan Liberal Democratic Party yang menyuarakan dukungan terbuka terhadap NATO.
Dalam situasi seperti ini, Serbia tidak hanya harus menjawab pertanyaan eksternal soal komitmennya terhadap netralitas dan aliansi, tapi juga menghadapi tekanan internal mengenai arah kebijakan luar negeri yang sebenarnya. ***