LENTERAMERAH – Di banyak kampung Minahasa, orang masih saling bantu membangun rumah tanpa dibayar. Di kebun, pekerjaan berat tak perlu dibayar harian.
Saat ada keluarga berduka, tetangga datang bukan sekadar mengantar bunga, tetapi memasak, memikul beban logistik, dan berjaga semalam suntuk. Itulah mapalus —sebuah sistem sosial yang bukan hanya tradisi, melainkan cara hidup.
Tapi di kota-kota besar, bahkan meminjam bor listrik pun harus lewat grup WhatsApp RT. Di gedung-gedung apartemen, banyak yang tak mengenal tetangga sebelah. Krisis kepercayaan bukan lagi ancaman masa depan, tapi kenyataan sehari-hari. Kita hidup dalam masyarakat yang makin cair, tapi juga makin asing.
Dan Perhimpunan Minahasa Raya (PMR) muncul di tengah realitas ini. Ia tak hanya ingin menjaga warisan budaya, tetapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai sosial Minahasa dalam konteks Indonesia yang terfragmentasi dan dunia yang semakin kompetitif.
Lewat entitas ini, mapalus tak hanya dikenang sebagai kebiasaan nenek moyang, tapi diposisikan sebagai tawaran peradaban—sebuah alternatif terhadap dunia yang makin disandera oleh individualisme dan pasar bebas.
Mapalus bukan sekadar gotong royong. Ia adalah sistem distribusi sosial yang adil, berbasis rasa percaya dan rasa malu. Dalam masyarakat agraris Minahasa, mapalus mengatur siapa membantu siapa, bukan dengan kontrak, tapi dengan ingatan kolektif dan reputasi. Di mana negara belum hadir, mapalus sudah menjamin keadilan sosial.
Di zaman ketika negara modern pun goyah menghadapi pandemi, disrupsi digital, dan krisis iklim, sistem-sistem sosial seperti mapalus justru menemukan relevansinya kembali. Di luar negeri, masyarakat adat di Amerika Latin menghidupkan kembali ekonomi solidaritas.
Di Afrika Selatan, nilai ubuntu—”aku adalah karena kita”—dipakai untuk menyembuhkan luka kolonialisme. Dunia maju mulai menoleh ke komunitas sebagai penyangga krisis yang tak bisa dijawab oleh logika pasar.
PMR bisa menjembatani nilai lokal dan tantangan global. Lewat program pemberdayaan ekonomi berbasis kolektif, penguatan pendidikan nilai-nilai sosial bagi generasi muda dan jejaring diaspora Minahasa di dalam dan luar negeri, PMR dapat menjadi kanal aktualisasi mapalus dalam wujud modern.
Tantangannya, tentu, adalah bagaimana menerjemahkan nilai-nilai spiritual ke dalam praktik sosial yang relevan di kota, dunia digital, dan ruang-ruang publik masa kini.
Mapalus adalah narasi tandingan. Ia tidak lahir dari teori barat atau proposal donor, tetapi dari pengalaman konkret hidup bersama dalam kondisi serba terbatas.
Indonesia, yang tengah mengalami fragmentasi sosial dan kegagalan sistem representasi akibat oligarki yang turut memerintah sejak satu dekade terakhir, membutuhkan nilai seperti ini—nilai yang lahir dari tanah, bukan dari layar.
Dan mungkin, jika republik ini ingin utuh kembali, ia perlu berhenti sejenak dan mendengarkan cara-cara lama yang pernah membuat orang tahan hidup dalam kemiskinan tanpa kehilangan martabat. ***