Perhimpunan Minahasa Raya dan Mimpi Besar Identitas Dalam Kompleksitas Indonesia

Ketika banyak komunitas budaya kehilangan arah, Perhimpunan Minahasa Raya justru berdiri sebagai titik temu bagi yang tercerabut dan jalan pulang bagi yang lupa darimana berasal.
Perhimpunan Minahasa Raya muncul sebagai kekuatan baru yang menjawab disintegrasi budaya dan diaspora lokal dalam bingkai kebangsaan.
Perhimpunan Minahasa Raya muncul sebagai kekuatan baru yang menjawab disintegrasi budaya dan diaspora lokal dalam bingkai kebangsaan.

LENTERAMERAH – Di kota-kota besar, banyak anak muda Minahasa lebih fasih berbicara dalam bahasa Inggris daripada bahasa daerahnya. Di situlah kekhawatiran bermula—dan Perhimpunan Minahasa Raya (PMR) lahir. 

Ia bukan sekadar organisasi kedaerahan yang mendaur ulang simbol. Ia lahir dari perasaan tercerabut dan keinginan untuk menyusun ulang peta identitas yang semakin kabur. 

Di antara gedung-gedung tinggi dan apartemen yang seragam, Minahasa mencoba bicara lagi, melalui anak-anaknya yang tumbuh jauh dari sawah, hutan dan danau Tondano.

Perhimpunan Minahasa Raya hadir bukan hanya untuk mengingatkan dari mana anak Minahasa hari ini tumbuh, tapi juga ke arah mana akar anak Minahasa bisa menjalar kembali. Visi dan misinya bukan hanya kutipan dari statuta, tapi seruan agar warisan leluhur jangan hanya dikenang saat pernikahan adat atau kematian. 

Di tengah globalisasi yang menggiling segala hal menjadi tren, PMR menyodorkan sejumlah nilai, yakni bahasa yang nyaris punah, tarian yang hanya diajarkan dari mulut ke mulut dan solidaritas yang dibentuk dari sistem sosial seperti mapalus.

Minahasa punya sejarah panjang. Dari pejuang kemerdekaan, pendeta, jurnalis, sampai prajurit republik. Namun sejarah saja tidak cukup jika tidak dihidupkan kembali dalam konteks baru. 

Tantangan utama PMR justru di situ: menjembatani akar dengan awan, tradisi dengan teknologi, identitas dengan relevansi. Bisakah PMR menjangkau generasi TikTok yang tak tahu siapa Sam Ratulangi? 

Bisakah ia menghindari jebakan eksklusivitas, di mana organisasi budaya hanya dihuni elit yang bicara di seminar tanpa menyentuh realitas kampung dan kota?

Risiko elitisasi itu nyata. Begitu pula bahaya menjadikan organisasi sebagai etalase simbolis, tanpa kerja nyata di lapangan. 

Jika PMR gagal menciptakan ekosistem regeneratif—lewat pendidikan budaya, mentoring pemuda, penguatan ekonomi komunitas—maka ia hanya akan jadi potret yang usang. Tapi jika ia berhasil, maka PMR bisa menjadi cetak biru untuk organisasi diaspora lain di Indonesia.

Indonesia tengah berada di persimpangan besar. Ketimpangan antardaerah melebar, suara-suara dari timur kerap tenggelam dalam wacana pembangunan yang Jawa-sentris. 

Ketika Jakarta sibuk membicarakan Ibu Kota Negara dan hilirisasi tambang, Minahasa justru bicara tentang tanah adat yang tergadai, sekolah negeri yang kekurangan guru dan perantau yang tak lagi pulang. 

PMR bisa menjadi penghubung antara perantau dan akar. Ia bisa menjadi suara yang membawa isu-isu lokal ke panggung nasional, dengan pendekatan yang kultural sekaligus strategis.

Di sisi lain, dunia sedang bergerak cepat. Urbanisasi, disinformasi digital, dan krisis iklim adalah kenyataan global yang merasuki komunitas lokal. Maka organisasi seperti PMR tak bisa hanya bicara adat. Ia harus bicara masa depan. 

Di sinilah nilai mapalus menemukan aktualitasnya kembali. Dalam mapalus, semua saling bantu tanpa pamrih. Nilai itu bisa menjadi kerangka baru dalam membangun komunitas, merespons krisis dan menciptakan solidaritas yang melampaui sekat politik atau agama.

Komunitas Māori di Selandia Baru sudah membuktikan bahwa budaya bisa dijadikan infrastruktur sosial. Mereka membentuk otoritas-otoritas urban yang mengelola layanan pendidikan dan kesehatan bagi warga Māori. 

Di Kanada, komunitas Métis bersatu dalam Nation Métis du Québec untuk memperjuangkan keadilan budaya dalam sistem federal. Di Nigeria, orang Yoruba membentuk Yoruba Progress Foundation sebagai simpul kekuatan ekonomi dan politik, bukan hanya pelestari tari dan bahasa.

Apa yang mereka lakukan bukan sekadar pelestarian, tapi penataan ulang peran budaya dalam pembangunan nasional. PMR bisa belajar dari sana, bahwa menjaga akar bukan berarti tinggal diam di tanah, tapi tumbuh—ke segala arah.

PMR bukan hanya soal Minahasa. Ini tentang bagaimana komunitas lokal bisa menjadi fondasi bagi negara yang sedang rapuh. Di tengah kekosongan arah, komunitaslah yang bisa berdiri lebih awal. 

PMR bisa menjadi narasi tandingan terhadap pembangunan yang hanya berbasis angka, bukan rasa. Dan seperti biasa, Minahasa memilih bergerak duluan. ***