LENTERAMERAH – CEO Vier Corp, Vier Abdul Jamal, menilai perdagangan saham saat ini stagnan dan pergerakan indeks hanya digerakkan oleh saham tertentu. “Yang trading itu-itu saja. Kalau kita lihat pergerakan IHSG satu hari, investor mudah menilai apa yang bergerak. Hanya saham-saham itu saja,” ujarnya, dalam wawancara dengan saluran televisi CNNI, beberapa waktu lalu.
Ia menilai BEI harus memberi perhatian serius mengapa saham lain tidak bergerak meski didukung isu ekonomi positif. Lambannya pengesahan undang-undang market maker juga membuat pelaku pasar serba salah. “Kalau ada yang menggerakkan, malah dituduh insider trading atau perdagangan semu. Ini dilema bagi pelaku pasar,” tambahnya oada kesempatan tersebut.
Vier menegaskan, kesehatan rupiah sangat bergantung pada IHSG. “Indikator Indonesia ada di IHSG. Tata kelola bursa harus dibenahi. Kita sudah anggota World Federation Exchange, tinggal copy saja praktik terbaik mereka. Masalahnya, kenapa kita tidak mau berubah? Ini problem struktural,” katanya.
Tata Kelola Bursa Perlu Reformasi
Stagnasi perdagangan saham dinilai sebagai cermin lemahnya tata kelola BEI. Target IPO yang semakin sulit dicapai mempertegas persoalan ini. Agustus lalu, direksi BEI menyebut ada 22 perusahaan yang siap IPO, namun realisasi jauh di bawah capaian tahun-tahun sebelumnya.
“Padahal sejak 2018, BEI kerap melampaui target IPO bahkan saat masih di pertengahan tahun. Kini, setengah target pun sulit dicapai,” ujar Vier. Sebelumnya, pemerintah sempat menaikkan target calon emiten dari 51 menjadi 54, namun performa IPO tetap melemah.
Fathi: Pasar Modal Bukan Milik Perusahaan Besar
Secara terpisah, anggota Komisi XI DPR RI, M. Fathi, menegaskan reformasi tata kelola bursa harus disertai dengan dukungan penuh bagi perusahaan menengah. “Pasar modal bukan hanya milik perusahaan besar. Perusahaan menengah yang sehat dan memiliki tata kelola baik juga harus diberi ruang untuk mengakses pembiayaan melalui IPO,” ujarnya.
Fathi menilai IPO menjadi instrumen strategis bagi perusahaan menengah untuk memperoleh sumber pendanaan jangka panjang yang lebih transparan dan berkelanjutan. Dana hasil IPO, katanya, akan digunakan memperluas usaha dan membuka lapangan kerja baru.
“Semakin banyak perusahaan menengah masuk ke bursa, semakin sehat pula struktur pasar modal kita. Ini bukan hanya soal pendanaan, tetapi juga memperkuat perekonomian secara berkelanjutan,” tegas politisi Partai Demokrat tersebut.
Ia menambahkan, masuknya perusahaan menengah ke bursa akan memperluas basis investor domestik. Pilihan investasi menjadi lebih beragam dan memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional.
“Perusahaan menengah adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. DPR siap mendorong regulasi agar perusahaan menengah tidak terhambat saat melantai di bursa. Langkah ini akan memperkuat daya saing sekaligus memperluas kesempatan kerja,” katanya.
Hambatan Biaya dan Regulasi
Meski begitu, hambatan biaya dan regulasi masih menjadi tantangan besar. Pengamat pasar modal, Dipo Satria Ramli, menilai biaya IPO perusahaan menengah bisa mencapai Rp3–5 miliar, jumlah yang dinilai berat. Selain itu, persyaratan administratif masih mengacu pada standar papan utama yang lebih cocok bagi perusahaan besar.
“Karakteristik perusahaan menengah berbeda. Regulasi harus lebih lentur agar mereka bisa masuk pasar modal,” jelasnya. Menurut Dipo, jika hambatan tersebut diatasi, perusahaan menengah dapat menopang pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. ***