Dari FCA ke Free Float, Kebijakan BEI Dinilai Tak Sentuh Akar Masalah

Kebijakan BEI seperti FCA hingga revisi free float dinilai tidak menyentuh akar masalah.
Ilustrasi gedung BEI. IDX kebijakannya tengah mendapat sorotan.
Kebijakan BEI seperti FCA hingga revisi free float dinilai tidak menyentuh akar masalah.

LENTERAMERAH – Pelaku pasar menilai Bursa Efek Indonesia (BEI) mengeluarkan sejumlah kebijakan yang kurang transparan dan telah menurunkan kepercayaan investor, terutama dari luar negeri.

Kebijakan BEI Hambat Akses Indeks Global

Salah satu kebijakan BEI yang menuai kritik adalah penerapan Full Call Auction (FCA) terhadap saham dalam daftar Unusual Market Activity (UMA). Kebijakan ini berlaku selama tujuh hari, tetapi efeknya bisa jauh lebih panjang. Penyedia indeks global seperti MSCI tidak mempertimbangkan saham-saham yang terkena FCA.

Beberapa waktu lalu Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Budi Frensidy, menyarankan agar BEI mengevaluasi kebijakan tersebut secara menyeluruh. Ia menekankan bahwa penyesuaian harus datang dari BEI, bukan dari MSCI.

Sementara itu pengamat pasar modal dari Strategi Institute, Fauzan Luthsa mengkritik pendekatan BEI. “Jika FCA hanya tujuh hari namun berdampak lama terhadap indeks global, maka ini bukan sekadar isu teknis, tapi soal struktur kebijakan. BEI harus sejajar dengan standar global,” ujarnya, Rabu (21/5).

Revisi Free Float Belum Menjawab Persoalan

Di sisi lain, BEI tengah mengkaji ulang aturan free float dan batas minimum keuangan dalam proses IPO. BEI mengklaim revisi ini bertujuan memperluas akses pasar. Namun menurut Fauzan, perubahan tersebut belum menyentuh persoalan mendasar.

Fauzan menilai revisi tersebut hanya menambal masalah di permukaan karena BEI belum membenahi cara menentukan indeks dan masih menjalankan mekanisme suspensi yang tidak transparan.

Penentuan Indeks Dianggap Tidak Objektif

Kritik juga diarahkan pada komposisi indeks seperti LQ45 dan IDX High Dividend 20. Sebagai contoh, saham PT Mitra Pack Tbk (PTMP) pernah masuk ke LQ45 meskipun belum memenuhi standar likuiditas. Saham TPIA dan BRPT juga masuk ke indeks dividen meskipun keduanya tidak membagikan dividen selama beberapa tahun terakhir. “Kebijakan seperti ini menimbulkan keraguan atas objektivitas BEI,” ujar Fauzan.

Unit Khusus IPO Dinilai Abaikan Perusahaan Menengah

Sorotan lain muncul dari pembentukan unit kerja khusus yang bertugas mendampingi korporasi besar menuju IPO. Fauzan mengkritik langkah ini karena menurutnya BEI mengabaikan perusahaan kecil dan menengah yang justru lebih membutuhkan dukungan.

“BEI terlihat lebih memprioritaskan pemain besar yang sudah siap, padahal justru perusahaan menengah yang seringkali membutuhkan pendampingan teknis dan strategis,” kata Fauzan.

Target IPO Belum Terkejar

BEI menargetkan 66 perusahaan IPO pada 2025. Namun hingga pertengahan Mei, baru 14 emiten tercatat dengan total dana Rp 7,01 triliun. Sementara itu, banyak perusahaan dalam pipeline belum mendapat sentuhan konkret.

“Jika fokus BEI hanya lima emiten besar, bagaimana dengan 50 lainnya?” ujar Fauzan. Ia menambahkan, “Dengan sisa tujuh bulan dan baru 14 IPO, rasanya sulit mengejar target tanpa pergeseran pendekatan. Jangan sampai kegagalan tahun lalu terulang.” ***