LENTERAMERAH – Bursa Efek Indonesia (BEI) menuai kritik atas wacana perpanjangan jam perdagangan menjadi tiga sesi. Di tengah stagnasi likuiditas dan rendahnya minat investor, kebijakan ini dinilai tidak menjawab akar persoalan yang dihadapi pasar modal.
Pengamat pasar modal dari Strategi Institute, Fauzan Luthsa, menyebut bahwa wacana tersebut justru menambah beban teknis dan biaya operasional pelaku pasar tanpa jaminan peningkatan volume transaksi. “Masalah utama bukan pada durasi pasar buka, tapi pada iklim investasi yang makin penuh hambatan teknis,” ujarnya, Selasa (3/6).
Fauzan menyoroti bahwa kebijakan seperti Full Call Auction (FCA) dan Unusual Market Activity (UMA) telah membuat saham-saham tertentu kehilangan daya tarik, khususnya di mata investor institusional dan penyedia indeks global. Ia menilai, alih-alih menambah durasi perdagangan, bursa seharusnya fokus mengevaluasi kebijakan struktural yang justru membatasi likuiditas.
Ia juga menyoroti rendahnya partisipasi perusahaan meengah dalam pipeline IPO bursa. Data per 23 Mei 2025 menunjukkan hanya dua dari 20 perusahaan dalam pipeline yang berasal dari kelompok aset kecil dengan nilai di bawah Rp50 miliar. “Bahkan perusahaan yang sudah direkomendasikan oleh IDX Incubator ada yang ditolak IPO-nya oleh tim penilai bursa,” ungkapnya.
Sebagian besar pipeline saat ini didominasi oleh 11 perusahaan dengan aset menengah (Rp50 miliar–Rp250 miliar), dan tujuh perusahaan dengan aset besar. Menurut Fauzan, kondisi ini memperlihatkan bahwa program seperti IDX Incubator belum efektif menjawab kebutuhan sektor usaha kecil dan menengah.
Ia menilai strategi BEI pada IPO skala besar melalui konsep lighthouse IPO akan memperkuat kesan bahwa pasar modal Indonesia hanya ramah bagi pemain besar. “Tak heran jika Presiden menyebut pasar saham dikuasai pemain besar,” ujarnya.
“BEI seharusnya kembali ke fungsinya sebagai lokomotif inklusi keuangan, bukan sekadar ruang untuk menampilkan perusahaan besar yang sudah siap,” tegas Fauzan. ***