LENTERAMERAH – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan secara resmi tolak gelar pahlawan Soeharto yang akan dianugerahkan pemerintah kepada mantan presiden tersebut.
GMNI Jaksel menyampaikan sikap tolak gelar pahlawan Soeharto dengan mengirimkan surat resmi ke DPR-MPR, Kementerian Sosial dan Kementerian Sekretariat Negara, Kamis (5/6).
GMNI Jaksel menilai pemberian gelar tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila serta sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama era Orde Baru.
Warisan Soeharto Kemiskinan Struktural
Dalam pernyataannya, GMNI menyebutkan bahwa kebijakan dan tindakan rezim Orde Baru di bawah Soeharto bertentangan dengan sila ke-2 dan ke-5 Pancasila.
Mereka menyoroti kasus pelanggaran HAM seperti penculikan aktivis, pembantaian massal pasca-1965, pembungkaman demokrasi, hingga eksploitasi buruh dan petani.
“Gelar tersebut bertentangan dengan semangat Pancasila—khususnya sila ke-2 dan sila ke-5, serta cita-cita kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang diperjuangkan dengan darah rakyat,” bunyi pernyataan tersebut.
Soeharto juga dituding membangun sistem kapitalisme kroni melalui praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang memperkaya elite dan menyisakan kemiskinan struktural bagi rakyat.
Persatean Indonesia
GMNI juga menyoroti bahwa stabilitas nasional di masa Orde Baru dibangun melalui represi. Kebebasan berserikat dibungkam, oposisi dilumpuhkan dan keberagaman diseragamkan.
Menurut mereka, Pancasila dijadikan alat kekuasaan alih-alih sebagai dasar kehidupan bangsa yang inklusif.
Dalam momentum peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni, GMNI mengutip pidato Bung Karno, “Pancasila bukanlah alat kekuasaan, melainkan jiwa bangsa yang merdeka, adil, dan berdaulat.”
Daftar Tuntutan GMNI Jaksel
Dalam surat tersebut, GMNI Jaksel menyampaikan empat poin tuntutan utama:
1. Membatalkan rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
2. Mengadili Presiden Joko Widodo dan memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang mereka sebut sebagai bagian dari rezim KKN dan pengkhianat Pancasila.
3. Memprioritaskan rehabilitasi korban pelanggaran HAM Orde Baru sebagai bentuk penebusan sejarah.
4. Memperkuat pendidikan sejarah kritis yang mengajarkan Pancasila sebagai etika politik, bukan sebagai alat represi.
“Jika tuntutan ini diabaikan, kami akan menganggap sebagai pengkhianatan terhadap Pancasila dan konstitusi oleh rezim saat ini. Legitimasi baru bagi oligarki yang ingin mengulang kekuasaan otoriter. Serta potong satu generasi! antara rakyat dan negara yang seharusnya berdiri di atas dasar Pancasila 1 Juni,” tutup pernyataan tersebut. ***