LENTERAMERAH – Ada satu peristiwa politik yang mungkin luput oleh publik secara luas, yakni partai Demokrat yang memodernisasi mesinnya melalui pembentukan lembaga think tank. Pabrik gagasan BRAINS Demokrat ini menarik untuk di cermati, apakah ia hanya sekadar lembaga baru di lingkungan Partai berlambang Mercy?
Ataukah ia merupakan penjelmaan suatu simbol? Simbol bahwa partai ini, yang sempat berada di titik nadir elektoral, ingin menyusun ulang dirinya dengan fondasi yang lebih kuat: ide, data dan kepercayaan publik baru.
Tapi seperti semua simbol, BRAINS akan ditakar bukan dari deklarasi atau jargon peluncurannya—melainkan dari sejauh mana ia mampu bertahan hidup dan didengar di dalam ekosistem partai di Indonesia yang umumnya yang masih jauh dari meritokrasi gagasan.
Meritokrasi gagasan disini adalah kondisi di mana ide, gagasan dan strategi dihargai serta dipilih berdasarkan kualitas dan relevansi intelektualnya, bukan berdasarkan siapa yang mengusulkan atau loyalitas politik pengusulnya.
Jika melihat jejak kepemimpinan Indonesia di masa SBY, dimana meritokrasi gagasan mendapatkan ruang yang luas dan hidup, tentunya ini menggembirakan.
Antara Gagasan dan Representasi Politik
BRAINS dipimpin dua nama muda yang masing-masing membawa kredensial berbeda: Dr. Ahmad Khoirul Umam, akademisi dan direktur eksekutif Indostrategic dan Muhammad Ali Affandi, organisator muda, pengusaha dan kader Demokrat. Keduanya adalah kombinasi unik antara pemikir dan penggerak, antara jalur akademis dan kekuatan jaringan eksekusi.
Namun di panggung politik, narasi gagasan seringkali tunduk pada loyalitas struktural dan kecenderungan elitis. Maka pertanyaannya bukan sekadar apa yang ingin dibuat BRAINS?, tapi apakah ia akan diizinkan menjadi dirinya sendiri?
Idealisme di Tengah Struktur Tertutup
BRAINS dirancang sebagai think tank internal yang merancang kebijakan, melatih kader dan mendigitalisasi organisasi partai. Ia menjanjikan perubahan dalam cara kerja politik: lebih berbasis data, lebih reflektif terhadap perubahan zaman dan lebih terbuka pada kompetensi.
Namun struktur partai di Indonesia—bukan hanya Demokrat—masih kuat menempatkan posisi atas dasar afiliasi dan kesetiaan, bukan argumentasi rasional. Gagasan yang terlalu tajam bisa dianggap ancaman. Riset yang terlalu kritis bisa dilabeli sebagai pembangkangan.
BRAINS akan diuji di medan ini. Jika ia mampu bertahan dan menunjukkan kapasitas tanpa harus mengecilkan nyali, itu sudah kemenangan tersendiri. Tentunya dengan tetap memiliki loyalitas pada nilai-nilai yang dimiliki oleh SBY dan diteruskan oleh kepengurusan partai saat ini.
Saat Gagasan Bertarung di Dunia Nyata, Pengalaman di Amerika dan Israel
Di Amerika Serikat, lembaga seperti The Heritage Foundation (konservatif) dan Center for American Progress (progresif) menjadi dapur kebijakan yang betul-betul memengaruhi arah politik nasional. Malah tak hanya dua lembaga tersebut yang menjadi dapur, sehingga tarik menarik gagasan menjadi kompetitif.
Mereka tidak berada dalam struktur partai, tetapi berafiliasi erat dan ide-ide lembaga ini menjadi dokumen transisi pemerintahan, naskah pidato kampanye bahkan blueprint legislasi.
Kohelet Policy Forum di Israel bahkan lebih radikal. Dalam dekade terakhir, think tank ini berhasil mendorong reformasi yudisial kontroversial lewat kerja-kerja teknokratik, narasi media dan koneksi langsung ke elite pemerintahan Netanyahu.
Perbedaan utamanya adalah, mereka berdiri independen tapi dipercaya oleh partai. Dan menjadi bagian integral partai, menciptakan tantangan tersendiri, apakah ia akan dipercaya untuk berpikir atau hanya untuk menyenangkan telinga?
Tantangan BRAINS
BRAINS adalah eksperimen berani di tengah dunia politik yang sering menghindari refleksi. Ia dibentuk dengan intensi untuk memperkuat kapasitas gagasan partai, bukan sekadar sebagai alat propaganda intelektual. Atau BRAINS bisa menjadi semacam Kohelet ala Indonesia atau malah berakhir seperti banyak unit partai di Indonesia pada umumnya, formalitas yang sibuk menyusun seminar dan buletin, tapi tak mampu mengubah arah?
Hanya waktu yang bisa membuktikannya. Tapi dalam konteks ini, saya harus menyebutnya sebagai eksperimen berani atas laboratorium ide sekaligus cermin bagi refleksi kolektif. ***