LENTERAMERAH – Narasi resmi soal “respon terhadap ancaman” runtuh satu per satu. The Washington Post mengonfirmasi bahwa AS dan Israel rencanakan serangan ke Iran berbulan-bulan sebelum bom dijatuhkan. Persetujuan Washington bukan didasari intelijen baru, melainkan tekanan dari Tel Aviv.
Seorang pejabat senior Israel mengaku, “Kami memutuskan pada Maret untuk menyerang Iran sebelum Juni, dengan atau tanpa dukungan AS.” Bahkan saat media masih berbicara soal negosiasi damai, pesawat pembom B-2 sudah mengudara pada 13 Juni, radar Iran dilumpuhkan, dan sel pembunuh Mossad menyebar ke berbagai titik.
Direktur Intelijen Nasional AS, Tulsi Gabbard, saat itu justru melaporkan ke Trump bahwa Iran belum memberi perintah membuat bom nuklir. Tapi operasi tetap berjalan.
Dalam skenario ini, peran Jenderal Michael E. Kurilla (CENTCOM) jadi kunci. Ia membangun jaringan militer gabungan antara Israel, AS, dan negara Teluk yang disebut analis sebagai “payung Kurilla.” Sumber di Pentagon bahkan menyebut Kurilla tak hanya menyetujui, tapi secara aktif mendorong rencana serangan Israel.
Sebelum Kurilla pensiun, Israel meluncurkan serangan secara penuh—bukan karena ancaman nyata, tapi karena momen dianggap “ideal”. Target: bunker, ilmuwan, dan infrastruktur.
Jacob Nagel, eks penasihat Netanyahu, mengakui: “Tak ada bukti kuat. Hanya riset akademis. Tapi Khamenei mungkin tahu.” Kalimat ambigu ini cukup bagi Washington untuk menggulirkan operasi militer tanpa bukti formal.
Polanya jelas: Israel merancang, think-tank di Washington menyusun narasi, dan militer AS mengeksekusi. Bahkan sebelum Kongres atau publik AS sempat ikut bicara, naskahnya sudah selesai ditulis—di Yerusalem. ***